Sunday, April 22, 2007

Mengenal Tuhan


Saat Tuhan masih duduk di bangku Sekolah Dasar di surga sana, Tuhan pernah memiliki gagasan untuk menciptakan dunia bersama teman sekolahnya, Iblis yang berbakat.
(Gunter Grass; "Katz und Maus", 1961).

Selang beberapa tahun, Nietzche membunuh Tuhan yang masih kanak-kanak tadi dan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa, "Tuhan sudah Mati!"
(Friedrich William Nietzche 1844-1900).

Tak lama sesudah itu, Nietzche pun wafat dan di sampul depan sebuah jurnal filsafat tertulis, "Nietzche sudah mati!" tertanda, Tuhan.

Dalam pengembaraan alam pikiran, ada intisari fundamental yang ditujukan pada diri manusia yaitu bertanya. Saat belajar mengenal Tuhan, hanya ada dua konsekuensi yang dikenalkan; surga dan neraka, pahala dan dosa, baik dan buruk serta anonim dan antonim lainnya. Pengenalan tatanan itu hanya bentuk dari ancaman, reward dan punishment yang diberlakukan, sebagaimana majikan terhadap buruh dan peniadaan kontemplasi. Namun perjalanan mengenal Tuhan tidak akan pernah berhenti pada titik itu, hingga Gunter Grass dan Nietzche lebih memilih untuk menantang, mengolok-olok, bahkan membunuh Tuhan.

Pengembaraan terus berlanjut dan perjalanan mengenal Tuhan akan terus berlangsung dalam sejarah peradaban manusia. Namun tetap tak pernah ada kata yang bisa mewakili jawaban itu, meskipun muncul dari orang yang pintar merangkai kata dan pandai menyusun syair.
(Faridu'd-Din Attar 1142–1220).

Jawaban itu bukan rangkaian kata yang tersusun rapi. Ia diam seperti diamnya puncak gunung menunggu untuk didaki. Ia tersembunyi seperti tersembunyinya mutiara dalam kerang di dasar lautan. Ia menghangatkan seperti matahari yang tak bisa ditatap dengan mata nanar. Ia menyejukkan jiwa seperti udara pagi di pegunungan.

Jawaban itu ada di sini, di dalam hati...

Seperti jawaban Rabi’ah Al Adawiyah;

Ya Tuhanku...
Jika aku menyembah-Mu karena takut Neraka-Mu,
        Maka bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu,
        Maka haramkan tempat itu bagiku.
Tapi jika aku menyembah-Mu karena mengharap cinta-Mu,
        Jangan Kau enggan palingkan wajah-Mu dariku


Thursday, April 12, 2007

Edward Munch - Seniman yang Besar dengan Ketidakwarasan

Psikosis dan ketidakwarasan merupakan
malaikat-malaikat hitam yang menjaga buaianku
Edward Munch (1863–1944)
 

Edward Munch
Edward Munch, lahir 12 Desember 1863 di Loton, Norwegia. Seniman besar asal Norwegia ini dilahirkan dari ayah yang bernama Christian Munch, dokter Angkatan Darat Norwegia dan ibu yang bernama Laura Chaterine. Di dalam keluarga Edward adalah anak kedua dari 5 bersaudara.

Di usia 5 tahun Edward menunggui ibunya yang terkena sakit TBC. Tak beberapa lama kemudian tahun 1868 ibunya meninggal karena pendarahan yang hebat. Tak hanya itu, Edward banyak mengalami goncangan batin akibat ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya. Setelah ibunya meninggal, Sophie, saudara perempuannya juga meninggal karena sakit TBC di awal tahun 1800-an.

Sepeninggal ibunya, Edward dibesarkan oleh ayahnya dengan didikan yang keras. Edward berjuang mengatasi psikosis dengan melukis angan-angan akan siksaan masa lalunya.

Corak schizophrenia yang khas pada karya seninya terlihat jelas pada penggunaan garis lurus atau berombak yang sejajar di sekeliling tokoh pokok, dan kerap kali sang tokoh digambarkan terdistorsi. Garis tersebut mengungkapkan ketakutan akan dunia yang memusuhinya.

Dalam ukiran kayu, Edward seringkali menonjolkan urat kayu untuk maksud pengungkapan akan dunia yang memusuhi dirinya. Pemanfaatan urat kayu ini juga yang menjadi pembaharuan teknik abadi dalam seni grafis (cetak-mencetak) Sejak usia 45 tahun Edward menderita psikosis.

Selama sisa hidupnya ia menggantikan dunia nyata dengan dunia lukisannya. Edward menjadi pertapa, mengelilingi diri dengan kanvas, dan jarang mau menjual lukisan-lukisannya. Karya seninya ia anggap sebagai anak-anaknya. Apabila ia tidak puas dengan lukisannya, ia mencambuki lukisannya dengan menggemakan ayah yang memarahi anaknya.

Salah satu lukisannya yang terkenal adalah "The Scream", lukisan yang menggambarkan ketakutan murni. Dalam lukisan ini Edward menampakkan ciri-ciri lukisan ekspresionisme.

Ia melukis "The Scream" setelah mengamati matahari terbenam yang mega-meganya bagi Edward menyerupai 'darah beku'. 

Melukis dalam keadaan tak sadar seperti ekstase dalam awang-awang, menggambarkan suatu keadaan ketakutan yang mendalam dan terisolasi akan perdarahan ibunya yang menyebabkan kematian.

"The Scream" dilukis tahun 1893 menggunakan waxed crayon dan tempera di atas kertas. Lukisan ini tersimpan di Galeri Nasional Oslo, Norwegia. Lukisan ini pula yang sering menjadi icon film-film horor saat ini.