Saturday, November 27, 2010

Trigonometri dalam Menggambar


Ada yang masih inget rumus Sinus, Cosinus dan Tangen?

Kalo nggak inget masih bisa dimaklumi, bisa jadi di kehidupan sekarang ilmu ini nggak kepake sama temen-temen. Buat anak-anak SMA yang jelas belajar matematika, kalo sampe nggak inget ya kebangetan. Ini juga yang bikin gw ngelus dada ngeliat adek-adek kelas di SMA yang masih pada sekolah dan jaraknya jauh banget belasan tahun sama gw, tapi bisa-bisanya nggak inget sama pelajaran kelas 10 atau kelas 1 SMA.

Ini namanya parah!

Sabtu pagi (27/11/10) saat ngajar ekskul kartun dan karikatur di SMA 86, gw minta adek-adek kelas di SMA 86 yang ikut ekskul ini ngisi daftar tabel Sinus, Cosinus, dan Tangen dari sudut-sudut istimewa, nggak ada yang bisa jawab. Sampe akhirnya gw bikin sayembara, yang bisa ngisi tabel ini dengan lengkap, gw kasih duwit 100 ribu rupiah!

Syaratnya nggak boleh dalam hitungan desimal karena bisa aja dicari lewat kalkulator, tapi isiannya harus dalam angka matematis.


Langsung deh pada semangat, tapi sayang ngisinya nggak lengkap dan banyak yang bolong, bahkan ada yang nggak ngisi sama sekali. Alasannya sepele, lupa. Lah, ini dipelajari di kelas 10 kok ya bisa lupa. Bahkan ada anak kelas 10 yang baru kemaren belajar aja sampe nggak ngerti.

Duh...

Saat gw tulis di papan tulis, ini dia jawabannya...


Ada yang nanya, "Buat apa sih Kak, belajar ngartun aja kok pake harus tau trigonometri?"

Gw ketawa dan ngomong ke mereka saat pertemuan kemaren yang minta ngitung tinggi bangunan gedung sekolah pake batang korek api dan nggak ada yang bisa jawab. Bahkan parahnya dihitung mentah-mentah  pake ukuran batang korek api, lalu saat mulai beranjak ke tingkat bangunan, mereka nyerah karena nggak ada tangga yang setinggi bangunan sekolah buat mereka ukur sampe ke atas (cerita lengkapnya ada di sini: Cerita Tentang Belajar Mengajar).

"Siapa yang nanti lulus SMA mau kuliah di UI, ITB atau UGM?"

Semua tunjuk tangan, tapi gw bilang lagi kalo cara berpikirnya masih nyepelein ilmu, bisa aja kuliah di sana lewat jalur khusus yang bayarnya puluhan juta. Susah kalo ngarepin kuliah di sana lewat jalur tes normal. Dasar mentalnya aja yang ampun-ampunan dan harus digojlok lagi lebih keras, masih aja nyari alasan dan ngeluh, pake bilang kalo cara ngajar guru di sekolah nggak asik, jadinya males buat belajar serius.

Duh, kok jadi parah begini sih...

Gw bilang ke mereka bahwa belajar kartun dan karikatur itu hal teknis yang gampang dipelajari, semua orang kalo mau belajar juga bisa, masalahnya pola berpikir kreatif, inovatif dan solutif itu yang nggak gampang numbuhinnya. Kalo udah punya pola pikir begini, mau belajar apa aja gampang!

Ditanya lagi, gimana caranya?

Temuin keasikannya!

Itu jawaban gw, sembari ngejelasin ke mereka kenapa trigonometri itu asik kalo mau dipelajari, seasik belajar kartun dan karikatur. Cari tau dalam bentukan penasaran (curiosity), kenapa trigonometri sampe jadi ilmu tersendiri dalam aplikasi mengukur sudut dan bidang bentuk segitiga. Yang paling penting, cari tau buat apa kegunaannya ilmu ini. Percuma belajar sesuatu kalo nggak bisa digunain atau diaplikasiin.

Dan gw pun mendongengkan kisah, awal mulanya trigonometri itu ada...

* * * * *

Trigonometri, asal katanya dari bahasa Yunani, 'trigonon' (tiga sudut) dan 'metron' (mengukur). Sulit ditelusur siapa yang pertama kali mengklaim penemu ilmu ini, yang pasti ilmu ini sudah ada sejak jaman Mesir dan Babilonia 3000 tahun lampau.

Ilmuwan Yunani di masa Helenistik, Hipparchus (190 SM – 120 SM) diyakini adalah orang yang pertama kali menemukan teori tentang tigonometri dari keingintahuannya akan dunia. Adapun rumusan sinus, cosinus juga tangen diformulasikan oleh Surya Siddhanta, ilmuwan India yang dipercaya hidup sekitar abad 3 SM. Selebihnya teori tentang Trigonometri disempurnakan oleh ilmuwan-ilmuwan lain di jaman berikutnya.

Trigonometri dipakai untuk penghitungan astronomi dan navigasi, menghitung jarak planet dan bintang terdekat, menentukan sistem navigasi satelit, analisa pasar modal, bahkan seni rupa dan desain.

Ditanyain lagi atas dasar penasaran mereka, emang ada bentuk trigonometri di seni rupa juga desain?

Lagi-lagi gw ketawa. Gw jelasin bahwa pola pikir komputer menterjemahkan keinginan kita menggambar dengan cara 3 dimensi, di dalam jeroan komputer itu ada sistematika komputasi yang pake metode segala unsur matematika, nggak cuma trigonometri yang ngukur bentukan sudut-sudut bidang yang ada, bahkan yang paling umum sumbu axis XYZ yang dipelajari di pelajaran aljabar (algebra) ini yang paling umum.

Nggak percaya?

Gw kasih unjuk gambar 3 dimensi yang dibikin di software 3D, gambar yang masih draft dalam bentuk wireframe-nya juga gambar jadinya.

Aplikasi matematika ini dipake banget dalam seni rupa juga desain, terutama bagi para pembuat game, animator 3D, pun arsitek, mereka memang sangat dimudahkan dengan komputer saat proses pengerjaannya.

Seandainya komputer grafis berwujud manusia, pastinya sangat cerdas dan pinter banget, bisa menghitung rumus dalam waktu cepat, menerjemahkan apa-apa yang kita mau dalam proses penggambaran 3 dimensi model orang, karakter benda, bangunan, atau apa aja.

Lagi-lagi, belajar teknis itu sangat mudah, mempelajari konsepnya itu yang susah. Mengetahui bahwa ilmu diciptakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan manusia, bukan mempersulit atau malah bikin bingung manusia lainnya.

Gw pun nambahin cerita tentang teori menggambar perspektif yang awal mulanya diajarin sama Leonardo Da Vinci, penggambarannya jelas nggak ngasal dan ada aturan bakunya.

Meski memang aturan dalam menggambar jelas membelenggu dan pastinya akan ditabrak-tabrak oleh beberapa seniman yang muak dengan aturan menggambar. Tapi tetep pengetahuan mengenai dasar-dasar teori begini baiknya diketahui juga.

Di akhir waktu, gw nulis satu quote di papan tulis buat dipikirin bareng-bareng...


"Setiap ilmu dimulai dengan filsafat dan diakhiri dengan seni"

Will Durant (1885 - 1981)

Penulis, sejarawan, dan filsuf asal Amerika Serikat



Kelengkapan data tulisan ini diambil dari berbagai sumber, kebanyakan dari historyofscience.com
Sumber gambar:
● Hipparchus → William Cunningham Cosmographicall glasse (1559)
● 3D Model from Aberiu
● Perspective drawing from drawmarvel.com
 
Jangan lupa klik gambar untuk memperbesar, bukan diemut



Tuesday, November 9, 2010

Masih Ada Pahlawan di Hari Pahlawan



Seorang Tionghoa bernama Wu Lai Tjang (1935-1992) sejak kecil kenyang menderita. Ia anak pedagang kelontong dan pakaian jadi di daerah Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Di masa pendudukan Jepang, toko milik orang tuanya dijarah dan dibakar, keluarga Wu pindah ke Jakarta di gang Ribal dekat Pintu Besar Selatan dan keluarga ini mulai berdagang lagi. Di masa kemerdekaan, ia pernah dipenjara selama 11 bulan karena menanggung kesalahan kakaknya memperdagangkan barang selundupan.

 Wu Lai Tjang besar, mengganti namanya menjadi Muhammad Saleh Kurnia, di tahun 1950 ia mendirikan CV Hero yang kemudian membesar dan menjadi PT. Hero Supermarket Tbk.

Adapun Hero, supermarket pertama di Indonesia yang didirikannya di tahun 1971 bertempat di Jl. Falatehan 1/23, Jakarta Selatan.

Satu waktu di hari Minggu tanggal 10 Mei 1992, Wu Lai Tjang meninggal dunia dan mewariskan 72 outlet Hero yang tersebar luas di sekitar Jakarta. Tampuk kepahlawanan Hero pun diserahkan pada anaknya yang bernama Ipung Kurnia yang kala itu masih berusia 29 tahun.

Sayang, lokasi pertama Hero Supermarket di Jl. Falatehan 1/23 bankrut dan tutup tanggal 1 Agustus 1996. Tempat ini sekarang dihuni oleh Bank Niaga Cabang Falatehan, tempat saya terjerat hutang KPR untuk rumah di Studio Alam Depok sampai tahun 2023.


* * * * *


Hero (pahlahwan) yang dimaksud jelas bukan supermarket, namun inspirasi kepahlawanan Wu Lai Tjang bagi keluarga ini yang setidaknya perlu dicontek.

Menjadi pahlawan bukan seperti cerita komik ala Marvel dan DC Comic, harus memiliki kekuatan super untuk membantu sesama. Menjadi pahlawan adalah orang yang peduli dengan sekitar, dengan lingkungan, minimal menjadi pahlawan untuk keluarga sendiri, membesar ke lingkungan dan masyarakat.

Saat ada bencana beruntun di negeri kardus ini, orang-orang yang memiliki jiwa pahlawan bahu-membahu membantu. Caranya ya bermacam-macam, dari mulai cara klasik dengan mengedarkan kotak sumbangan di jalan-jalan, meminta orang untuk menyumbang lantas sumbangan orang itu diklaimnya sebagai sumbangan dari yayasan, kelompok, organisasi bahkan partai yang mengumpulkan. Ada juga dengan cara pentas musik, membuat bentukan kreativitas untuk orang lain juga mendapat manfaat dari menyumbang itu sendiri.

Ya, banyak para pahlawan kesiangan yang merasa perlu bertindak cepat, menonjolkan namanya, kumpulannya, organisasinya, juga partainya sebagai bentuk yang paling peduli terhadap sesama. Semua sah-sah saja, hanya saja saya secara pribadi cukup berkrenyit ketika melihat kotak sumbangan beredar di jalan-jalan raya, lengkap dengan atribut yayasan, kelompok, organisasi bahkan partai dengan mengatasnamakan sumbangan untuk anu, inu, dan lainnya.

Ya sudah, biarkan saja, sayanya saja yang usil...


* * * * *

Di MP, saya cukup miris membaca cerita tentang rekan-rekan relawan yang terusir dari posko mereka hanya karena mereka berbeda keyakinan. Maaf, saya tak berminat membahasnya dari  masalah agama di sini, hanya saja cerita tentang pengusiran pengungsi yang mondok di sebuah gereja karena takut aqidah para pengungsi itu terganggu, benar-benar membuat saya miris. Mereka mengatasnamakan sebuah kelompok yang memiliki jiwa kepahlawanan, menjaga barisan sesama dari segi kerusakan aqidah.

Situ mau jadi pahlawan ya?

Pahlawan dalam hal apa?

Duh...

Tak perlu disebutkanlah nama kelompok itu, biarkan saja jadi cerita sambil lalu.

Beberapa rekan MP yang kesal dengan kondisi ini, menuliskan kekesalannya di MP, baik dalam bentuk jurnal atau potongan pendek tulisan Quick Note. Saya hanya bisa mengomentari dengan kata-kata, "semangat, sabar, dan jangan terganggu", meski saya yakin omongan saya itu tidak akan berarti apa-apa buat temen-temen relawan semua. Saya yakin, temen-temen relawan itu jauh lebih bisa menyikapi hal-hal yang terjadi di lapangan.

Menjadi pahlawan bukan untuk dicatatkan namanya dalam sejarah, menjadi pahlawan bukan untuk dipuja-puji bahkan sampai masuk televisi. Menjadi pahlawan adalah bentukan kepedulian pada sesama tanpa harus diembel-embeli pesan tertentu yang menghapus keragaman yang ada. Sampai kiamat pun takkan pernah bisa menyamaratakan kebersamaan dalam sebuah paham, aliran atau golongan tertentu. Bila semua menganggap dirinya yang terbaik, menganggap orang lain itu salah dan perlu diluruskan, hancurlah sudah kepahlawanan itu.

Lepas dari apapun rekan-rekan relawan yang ikhlas membantu tanpa tendensi apa-apa selain semangat menyatukan keragaman dan membantu sesama itu yang pahlawan. Di luar dari itu hanya sekumpulan pahlawan-pahlawan kesiangan, membantu dengan tendensi tertentu.

Maju terus pahlawan!

Semangat!

Kita semua masih percaya dengan kepahlawanan yang tulus tanpa bungkus. Negeri kardus ini memang perlu diurus, setidaknya dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan dengan baik. Persetan dengan wakil rakyat dan pemimpin nggak becus, yang bisanya cuma ngomongin tentang kakus dan itu jelas nggak tulus...