Refleksi Tragedi Kerusuhan 13 Mei 1998.
Potret buruk cermin dibelah bangsa ini. Sidang Umum MPR tanggal 1 - 11 Maret 1998 menetapkan Suharto (lagi-lagi) sebagai Presiden RI yang ketujuh kali periode, masyarakat kecewa. Bakin sudah mengingatkan bahwa kebijakan yang sangat tidak populer mengangkat Suharto kembali menjadi presiden. Pun, timbul kekecewaan massal dipicu dengan diangkatnya Siti Hardiyanti, anak pertama dari Jendral bintang lima ini menjadi Menteri Sosial.
Demonstrasi menuntut mundurnya Suharto merebak di mana-mana. Pemerintah tak ambil pusing, mahasiswa pun lebih tak ambil pusing. Momentum ini pun pecah pada hari Selasa, 12 Mei 1998 dan menjadi pemicu makin ganasnya mahasiswa menuntut demonstrasi. Di hari itu, 4 nyawa mahasiswa Trisakti melayang Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Heri Hartanto tertembak oleh peluru yang dimuntahkan senjata aparat keamanan ke dalam kampus alih-alih untuk menertibkan demonstrasi.
Masyarakat makin berang dan kecewa. Pemerintah tak mau lagi memikirkan kondisi rakyatnya. Di hari ini, 10 tahun yang lalu, adalah momentum di mana Hari Penjarahan Nasional. Keresahan masyarakat dipicu oleh kondisi ekonomi yang morat-marit akibat resesi ekonomi global membuat bangsa yang (katanya) bangsa baik hati dan murah senyum ini merampok dari si kaya. Pasar swalayan habis dijarah, setelah itu dibakar. Bukan cuma itu, beberapa etnis Tionghoa pun menjadi sasaran keberangan sentimen ekonomi.
Di hari ini 10 tahun yang lalu, semua kantor, pasar dan segala kegiatan ekonomi tutup, tak ada yang beroperasi. Semua takut dijarah. Semua takut dibakar. Bisa dibayangkan, orang-orang dengan bangganya mengatakan bahwa di tempat anu, di tempat itu bisa membawa pulang barang-barang bagus untuk dibawa pulang ke rumah.
“Eh, di situ ada barang-barang yang bagus! Mau baju? Mau barang elektronik? Tinggal ambil aja!” Dan barang-barang itu adalah milih Department Store yang dijarah. Setelah habis barang, toko itu dibakar.
Bagi mereka yang bermata sipit, ketakutan mereka menghantui di hari ini. Bukan cuma di jalan, di rumah pun mereka tak aman. Begitu tahu rumah itu adalah milik etnis Tionghoa, habis tempat kediaman itu dilempari bom molotov dan dibakar. Tak heran untuk mengelabui masyarakat, di depan rumah dan toko-toko mereka ditulis, “Milik Haji, Pribumi”.
Bisa dibayangkan betapa pedihnya di hari ini, kita, bangsa Indonesia 10 tahun yang lalu. Refleksi menuntut reformasi yang digaungkan para mahasiswa kala itu hanya jadi bahan onani siapapun hingga kini.
Siapa sih yang mau reformasi?
Siapa sih yang mau berubah?
Siapa sih yang mau bangsa ini keluar dari keterpurukan?
* * * * *
Mahasiswa mulai bergerak menduduki gedung MPR/DPR. Bisa dibayangkan gedung yang (harusnya) sangat memiliki wibawa di negeri ini, telah kehilangan martabatnya sejak hari ini, 10 tahun yang lalu. Gedung megah tempat para wakil rakyat berkumpul memikirkan kebijakan-kebijakan negeri ini berubah total menjadi tempat rekreasinya para demonstran. Setiap sudut gedung bebas untuk dijelajah! Grafiti tak luput di setiap tembok dan pintu gedung. Uniknya, membawa pacar dan bercengkrama memikirkan masalah-masalah kapan kuliah kelar pun dibawa di tempat ini.
Apa sebenarnya di diperjuangkan?
Ah! Demonstran yang bingung.
Hanya segelintir yang mengerti apa yang mereka perjuangkan.
Dan... Sejarah memang berulang.
Soe Hok Gie makin mati rasa ketika umur makin bertambah, beban menyelesaikan kuliah yang makin sarat, tanggung jawab ke orang tua yang selalu menunggu. Belum lagi teman-teman seperjuangan ketika meruntuhkan Rezim Orde Lama dilirik pemerintah untuk duduk bersama dan berkuasa.
Satu bait karya sastra filsuf Yunani yang sangat dipegang Soe Hok Gie adalah, “Keadaan terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua adalah mati muda. Yang tersial adalah berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."
Kritikan bagi mereka yang dulu berjuang memperjuangkan demokrasi dipaparkan dalam puisinya yang berjudul "Pesan"
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Ah...
Sulit benar mencari cermin yang benar-benar tembus ke hati...
Catatan Akhir:
- Untuk semua teman-temanku yang kini ada di Pemerintahan...
- Untuk semua teman-teman yang dulu kukenal dan kini tengah memperjuangkan nasib kita semua...
- Untuk semua teman-teman yang pernah kutahu paling keras suaranya di jalanan, yang kini tengah memperjuangkan rakyat dengan menaikkan harga BBM, memperjuangkan makin melangitnya harga-harga yang tak terjangkau kantong kami....
Salam sayang buat kalian semua...
Luqman Hakim
Orang Biasa
13 Mei 2008