Bakat itu cuma 10% dari awal mula penentu kehidupan seseorang, selebihnya yang 90% adalah bentukan faktor lingkungan. Setidaknya dalam sudut pandang ilmu yang mempelajari karakteristik manusia, hal itu yang sering digaung-gaungkan. Sering terjadi di kehidupan, orang yang sepertinya berbakat, dalam perjalanannya malah melenceng jauh, tidak menjadi seperti apa yang seharusnya mereka jadi.
Berawal dari cerita anak saya Annisa Zahra Hakim yang hobi menyanyi. Saat masih di kandungan, istri saya sering mendengarkan lagu-lagu kontemplatif, lagu-lagu klasik di perutnya meski terkadang saya rusak suasana itu dengan memutarkan lagu-lagu Sepultura, Metallica, Megadeth yang membuatnya sebal. Ketika lahir, besar dan kini beranjak 6 tahun, Zahra jauh lebih cepat menghafal sesuatu yang berasal dari nyanyian atau lagu. Saya dan istri sering kelimpungan mengajarkan pelajaran sekolah dalam bahasa nyanyian, karena itu cara tercepatnya memahami sesuatu.
Pun setiap mendengar lagu, Zahra cenderung mengikuti lirik, bait dan nada serta melantunkan dalam suara anak-anaknya. Suara saya yang fals, jauh dari mendingan, lebih baik mendengar bunyi kaleng dipukul-pukul ketimbang mendengar saya bernyanyi, begitu kata istri. Sebaliknya, cengkok yang hancur ketika menyanyi, lagu pop yang berubah jadi dangdut yang saya dengar dari setiap lagu yang dinyanyikan istri. Intinya kami berdua tak ada yang punya kebisaan di seni musik, dalam hal ini seni suara.
Dari situ istri berpikir menyalurkan keinginan anak kami ke sekolah musik. Mendaftarlah ke Elfa's Music Studio, tak cocok untuk ukuran idealisme istri, tak jadilah masuk. Mendaftar di Farabi Dwiki Dharmawan Music School, ketika merasa cocok, melihat biaya yang tak masuk kocek anggaran, Rp 600 ribu sebulan dan sebulan ada 4 pertemuan, sekali pertemuan 30 menit, saya dan istri berpikir panjang untuk memasukkannya. Kelewat mahal dan masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk jadi pengeluaran keluarga.
"Tugas Ayah tuh buat nyari uang yang 'berkah' dan lebih lagi, biar Zahra bisa sekolah musik di Farabi." Begitu kata istri yang sampai sekarang mengganjali pikiran saya. Bukannya apa-apa, saya penganut faham otodidak, semua bisa dipelajari asal kita mau. Tapi apa bisa pola pemikiran begini diterapkan ke anak-anak?
Farabi. Itu jadi kata kunci dan tergiang-ngiang di pikiran saya. Cerita ini distop dulu di sini, nanti disambungkan dengan cerita lainnya.
* * * * *
Saya punya tetangga, namanya Muhammad Yasin. orang tergeblek yang saya kenal, hidupnya melulu berisi bercandaan, ketawaan dan kelucuan. Lucunya, dia satu kantor pula, dulu sempat satu departemen, namun saat saya pindah divisi, kami tak satu bagian lagi. Dari jaman masih tinggal di Depok II, kami tetanggaan, pun saat saya pindah ke Studio Alam Depok, tanpa pernah mau janjian bakal tetanggaan lagi, nyata-nyatanya kami malah tetanggaan lagi. Duh...
Yasin, begitu orang mengenalnya. Namun suka mengenalkan dengan nama yang 'sok' kebarat-baratan, 'Robert'. Ada kisahnya kenapa ia suka nama 'Robert', ia suka permen Trebor, dalam bahasanya, bila dibalik kata 'Trebor' itu jadi 'Robert'. Itu juga yang membuatnya dipanggil dengan sebutan nama itu. Diplesetkan jadi Aa' Obet dan ia juga yang 'menyeret' saya ke arus Komunitas 80-an. Di sini teman-teman mengenalnya dengan sebutan itu, Aa' Obet, tanpa mengenal nama aslinya. (Maaf Aa' Obet, saya bongkar sedikit biodatamu di sini, he he he...)
Cerita ini juga distop sampai di sini, dikorelasikan di bawah.
* * * * *
Kepusingan saya mencari uang untuk bisa menyekolahkan anak di sekolah musik, agar bila Zahra berbakat, ia punya komunitas yang bisa mengarahkan bakatnya tanpa harus membentuknya menjadi penyanyi-penyanyi seperti sekarang. Saya tak rela bila ia nanti jadi seperti itu, seperti mereka yang ada di tayangan infotainment. Na'udzu billah min zallik!
Satu waktu, saya cerita kepusingan pikiran tentang Farabi itu pada Aa' Obet.
"Kacau Mas, gimana nyari duit segitu buat sekolah musiknya Zahra ya? Kemaren gw daftarin di Farabi, gw ame bini udeh cocok, giliran cocok, duitnye yang nggak cocok. Pusing gw..."
"Ngapain lo pusing? Gitu aje pake pusing. Kalo di Farabi mahal, mending Zahra masukin ke Forkabi aje. Keren tau..."
Siiiaaaaaaaalllllaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn...!!!
* * * * *
Dan selesailah cerita ini, cerita bodoh yang sampai sekarang saya masih tertawa-tawa mengingatnya. Sulit mencari korelasi antara Farabi dengan Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi), salah satu organisasi massa yang relatif besar di Jakarta.Dapat dari mana pula pikiran aneh itu, mengkorelasikan kata Farabi dengan Forkabi.
Ide yang orisinil! Wajib dikabarkan di blog ini, he he he...
Tertawa punya resiko, kelihatan bodoh
Menangis punya resiko, kelihatan sentimentil
Mengulurkan tangan punya resiko, terlibat
Meluapkan perasaan punya resiko, mengungkapkan diri sejenak
Meletakkan ide dan impian di hadapan orang punya resiko, disambar orang
Mencintai punya resiko, tidak dicintai lagi
Hidup punya resiko, mati
Berharap punya resiko, kecewa
Mencoba punya resiko, gagal
. [Anonymous]