Wednesday, July 14, 2010

Sejarah Depok, Budak, dan Cornelis Chastelein


Bisa jadi Pramoedya adalah sastrawan pertama yang mengangkat cerita tentang Depok dalam novelnya, Bumi Manusia. Buku yang ditulisnya semasa jadi tahanan politik Oktober 1965 sampai Desember 1979.

14 tahun dibui dan berpindah-pindah penjara, di tempat terasing ini Pram membuat Tetralogi Pulau Buru. Salah satu karyanya selama masa penahanan adalah Bumi Manusia, ditulis sekitar tahun 1973.

Bumi Manusia dicetak untuk umum oleh Aga Press tanggal 25 Agustus 1980. Belum setahun buku itu terbit, tanggal 29 Mei 1981 Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Keputusan bernomer SK-052/JA/5/1981 yang menyatakan karya Pram sebagai buku terlarang. Tuduhannya adalah menyebarkan ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme. Sampai akhirnya buku itu boleh terbit lagi September 2005, Penerbit Lentera Dipantara yang merilisnya.

Sebenarnya apa yang ditulis Pram di Bumi Manusia?

Cerita roman dengan setting sejarah sekitar tahun 1898 sampai 1918, masa awal dari periode Kebangkitan Nasional. Pram menulis cerita tentang kisah cinta 2 anak manusia dengan latar belakang yang berbeda. Seorang anak priyayi Jawa bernama Minke, mencintai gadis Belanda Depok bernama Anneliesse Millema.

Pram sendiri juga tidak menulis Depok secara detil, hanya menekankan pada daerah di pinggiran Batavia yang banyak terdapat perempuan simpanan Belanda. Dipekerjakan sebagai budak, di antaranya ada yang dijadikan istri tanpa dinikahi. Seperti kata Pram di buku Bumi Manusia.


Cornelis Chastelein dan Depok
 

Depok sendiri sebenarnya sudah lama ada kehidupan sejak Cornelis Chastelein, seorang pengusaha VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) melihat potensi daerah ini dan mengembangkannya di tahun 1693. Datang ke Depok membawa banyak budak asli orang Indonesia dan mengelola tempat ini sebagai lokasi untuk menanam hasil bumi, membuka banyak lahan untuk perkebunan dan pertanian di pinggiran kota Batavia.

Saat itu sistem perbudakan masih ada, Indonesia pun terkena imbasnya. Tak hanya menjajah, Belanda juga merampok kebebasan individu bangsa Indonesia meski tidak separah Afrika yang sebagian besar kemerdekaan penduduknya dicuri oleh negara-negara Eropa dan diperdagangkan sebagai budak ke berbagai negara.

Belanda baru sadar HAM dan menghapus sistem perbudakan tanggal 1 Juli 1863, mulai dari negeri jajahannya di Suriname. Tanggal yang kemudian oleh warga negara Suriname diperingati sebagai Hari Keti Koti, hari lepasnya belenggu Suriname dari perbudakan Belanda.

Bila temen-temen masih ingat, negeri kincir angin ini pernah memenangkan piala Euro 1988, kapten kesebelasannya, Ruud Gullit adalah keturunan Suriname, di mana sering disinyalir orang masih ada keturunan Jawa. Orang Indonesia pun ada juga yang jadi budak, diperjualbelikan antar negara, bahkan sampai dipekerjakan di Suriname. Tak heran apabila kecurigaan Ruud Gullit itu ternyata orang Jawa begitu besar.

Adapun orang Indonesia yang dipekerjakan di Suriname atau di negara-negara lain oleh Belanda pada masa itu, tentunya bekerja sebagai budak, bukan sebagai karyawan atau ekspatriat.

Cornelis Chastelein sebagai penguasa Depok pertama di tahun 1693, memiliki banyak budak dari berbagai daerah dan suku-suku di Indonesia. Mereka datang dari Bali, Ambon, Bugis, Bima (Nusa Tenggara), Pulau Rote, Jawa, juga Sunda. Kabarnya ia orang yang anti perbudakan, apalagi bila budak itu beragama Kristen Protestan. Untuk itu Chastelein menawarkan kebebasan pada budaknya bilamana bersedia mengkonversi keyakinannya menjadi Kristen Protestan.

Dalam jaman yang masih mengenal perbudakan, Chastelein justru menerapkan sistem upah pada para budaknya yang kemudian dimerdekakan dan diubah status menjadi koelie alias pekerja, bekerja dan mendapatkan upah, bukan bekerja tanpa gaji apa-apa sebagaimana layaknya budak. Sejalan dengan waktu, ia juga berhasil membawa Depok menjadi kota yang nyaman untuk jadi tempat tinggal hingga sekarang.


Tak heran para pekerjanya begitu kehilangan ketika ia meninggal dunia tanggal 28 Juni 1714. Nama Cornelis Chastelein begitu dikenang, hingga oleh anak keturunan dari para pekerjanya didirikanlah Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang bertempat di Jl. Pemuda No.69, Depok Lama, Depok 16431.

LCC kini berbentuk yayasan dan bergerak dalam bidang pendidikan lewat sekolah bernama SMA Kasih, pun melestarikan aset warisan peninggalan Cornelis Chastelein agar tidak tergusur, punah dan tergerus oleh pembangunan kota juga perkembangan jaman.


Belanda Depok dan Sejarah Depok


Kata Belanda Depok ini cukup satir, sering dijadikan bahan ejekan anak-anak sekolah pada temannya yang berkulit putih dan berambut merah kecoklatan di Jakarta dan sekitarnya. Meski begitu, tidaklah benar sebutan ini dilekatkan pada fisik tertentu sebagai bahan celaan.

Sejarah Depok seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, para budak Cornelis Chastelein yang akhirnya dibebaskan dan jadi pekerja, meneruskan tempat ini turun-temurun. Mereka menjaga tempat-tempat peninggalan bersejarah kota Depok.

Merekalah warga pertama yang mendiami tempat ini bersama tuannya, Cornelis Chastelein. Ketika tuannya meninggal, ratusan budaknya dikelompokkan menjadi 12 fam atau marga dan mendapat wasiat darinya untuk merawat perkebunan. 12 marga tersebut adalah Laurenz, Loen, Leander, Jonathans, Joseph, Yakob, Sudira, Samuel, Zadoch, Isac, Bakas dan Tholence.

Mereka menolak sebutan Belanda Depok, dari dulu hingga sekarang.

Seperti yang dikutip dari okezone.com, Ketua LCC, Rene Roland Loen mengatakan, "Kami ini sejak dulu orang Indonesia. Leluhur kami hanya sebagai pekerja di perkebunan milik Cornelis. Secara otomatis kami dididik dengan pola dan gaya hidup Belanda. Lalu siapa sebenarnya yang dipanggil Belanda Depok?"

Suzanna Leander, pengurus LCC juga menambahkan, "Kami tersinggung jika dipanggil Belanda Depok, itu penghinaan buat kami. Belanda kan kulitnya putih rambutnya pirang. Kami itu pribumi, beda. Kami bukan penjajah. Lebih baik sebut kami budaknya Chastelein, karena memang begitu kenyataannya," tegasnya saat berbincang dengan okezone.

Warisan Chastelein yang dikelola dan oleh LCC lumayan banyak, kesemuanya itu adalah aset sejarah kota Depok yang perlu dilestarikan. Bekas rumah megah Chastelein berubah menjadi Rumah Sakit Harapan. Dari yang dulunya sekolah untuk para budak yang didirikan Chastelein, kini telah berubah menjadi SD Pancoran Mas 2. Tanah yang dulunya bekas perkebunan, kini telah menjadi lapangan bola di samping Rumah Sakit Hermina. Pun masih banyak lagi lainnya.

Sementara rumah saya di Studio Alam?

He he he, saya nggak tau pasti. Bisa jadi daerah tempat saya tinggal dulunya adalah hutan bambu yang nggak jelas dan belum dikelola serius oleh Chastelein di masanya.





Luqman Hakim
Dari berbagai sumber


Catatan: Ditulis buat mengikuti syarat Lomba Blog Depok, 17 Juli – 17 September 2010 (http://lombablogdepok.com/)



Sumber gambar:
Gambar 1: Cover buku cetakan pertama Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Aga Press, 1980
Gambar 2: Logo VOC di salah satu kastil di Cape Town, Africa Selatan, properti foto milik David Cohen
Gambar 3: Logo Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Depok
Gambar 4: Rumah milik Rijklof Loen, foto tahun 1935, properti foto milik dari depok.nl