Sunday, July 27, 2008

Pohonnya di Mana? Kisah Imam Abu Hanifah R.A.

Dari balik dinding rumah seorang gadis kecil, setiap malam ia selalu melihat bayangan pohon yang melintang di samping rumahnya. Anehnya, bayangan itu hanya tampak pada waktu malam hari. Setiap malam bila mengintip dari celah-celah dinding rumah, ia selalu melihat bayangan pohon itu. Mulanya agak menakutkan, seperti bayangan orang yang hendak menghampiri, tapi lama-kelamaan ia jadi terbiasa dengan kehadirannya.

Namun mulai di suatu suatu malam, gadis kecil itu tak pernah lagi bisa melihat bayangan pohon yang melintang di samping rumahnya, begitu juga dengan malam-malam berikutnya. Seperti ada yang hilang, ia bertanya pada sang nenek yang biasa menemaninya tidur.

"Nek, kemarin-kemarin setiap malam aku selalu lihat bayangan pohon yang melintang di samping rumah kita. Tapi sekarang kok sudah nggak ada lagi. Ke mana pohon itu ya, nek? Ditebang ya? Atau sudah rubuh barangkali?"

Mendengar pertanyaan cucunya, sang nenekpun menangis.

Seminggu yang lalu tetangga samping rumah mereka, Imam Abu Hanifah RA baru saja meninggal dunia. Sebagai ulama besar, setiap malam beliau selalu mengerjakan shalat malam (qiyamulail). Begitu khusyu' dan tuma'ninahnya sang Imam berdiri mengerjakan shalat di keremangan malam sampai-sampai gadis kecil di samping rumahnya menyangka dirinya adalah pohon besar yang bayangannya melintang di rumah gadis kecil itu.

Friday, July 25, 2008

Sejarah Celana Kanvas

Sewaktu demam emas melanda Amerika tahun 1848, kala itu mata pencarian penduduknya kebanyakan memang menjadi penambang logam mulia. Namun dari bagian ini ada seorang pemuda usia 20 tahun dari New York yang berniat mengadu nasib. Di tempat asalnya ia adalah seorang penjual pakaian, berangkat ke California dengan berbekalkan beberapa potong tekstil untuk dijual selama perjalanan ke Barat. Karena dasarnya memang nekad, sesampainya di California, ia menjual semua barang milikinya kecuali segulung kanvas.

Segulung kanvas?

Apa gunanya?

Siapa pula yang mau memakai pakaian yang dibuat dari kanvas?

Di California, pemuda itu memperhatikan bahwa para pekerja tambang memiliki celana yang cepat sekali rusak. Untuk itu ia mencoba membuat celana kerja dari bahan kanvas dan menjual celana itu kepada para penambang. Celana dari kanvas itu laku keras. Banyak penambang membeli celana kanvas.

Namun karena tidak sepenuhnya bahan kanvas nyaman untuk dipakai, pemuda itu mulai menggunakan bahan lain yang dipesannya dari Genoa, Italia. Para pemintal di sana menyebut bahan itu "genes". Ia mengubah namanya menjadi "jeans", dan mulailah ia memproduksi celana jeans pertamanya, yang diberi merk "Levi's".

Hanya dalam waktu singkat celana ini menjadi "pakaian resmi" para penambang dan koboi, dan akhirnya dapat kita temui sekarang sebagai "pakaian kebangsaan" banyak orang. Pemuda itu bernama Levi Strauss dan hasil karyanya telah dinikmati banyak orang di seluruh penjuru dunia.

Berikut salah satu Print Ad Levis di Indonesia dengan tematik Idul Fitri 1427 H. Alur pada serat kanvasnya membentuk barisan shaf ketika Shalat Ied.


Agency: OgilvyOne Worldwide, Jakarta, Indonesia
Executive Creative Director: Rajesh Menon
Art Directors: Yohanes Sumera, Priangga Amalo
Copywriter: Aria Wahyu
Digital Imaging: Wishing Well


Kotak Pandora. Awal Mula Keburukan dan Kejahatan

Suatu waktu Zeus ingin menguji manusia. Ia mengirimkan ke bumi seorang gadis teramat cantik, memiliki semangat dan rasa ingin tahu nan membara seperti api. Gadis itu juga diberkati oleh seluruh dewi-dewi dengan berbagai macam anugrah. Kecantikan, kelembutan serta kekayaan dan pancaran gemerlap yang semua ditujukan untuk dirinya. Gadis itu bernama Pandora, yang artinya 'seluruh anugrah'.

Sebelum turun ke bumi, Zeus memberinya sebuah kotak yang tertutup rapat. Dewa dari para dewa itu juga berpesan pada Pandora untuk tidak membuka kotak itu atas dasar alasan apapun. Pandora menyanggupi.

Di Bumi Pandora bertemu dengan Epimetheus, anak Iapetus cucu dari Zeus. Ia terpesona melihat gadis sedemikian cantik, molek dan rupawan seperti Pandora. Tumbuhlah perasaan cinta di hati Epimetheus dan kemudian ia meminang Pandora.

Lewat beberapa waktu pernikahan Epimetheus dan Pandora, cucu Zeus ini melihat sebuah kotak yang tertutup rapat yang disembunyikan Pandora di salah satu sudut rumah. Epimetheus bertanya pada istrinya apa isi kotak itu. Istrinya menjawab tidak tahu karena memang perintah Zeus untuk tidak membuka kotak itu atas dasar alasan apapun. Mendengar itu suaminya juga ikut menganjurkan Pandora untuk tidak membukanya.

Dasar Pandora, rasa ingin tahu yang besar telah membakar jiwanya. Berulang kali ia membujuk suaminya untuk membuka kotak hadiah dari Zeus, namun Epimetheus tetap melarang membukanya. "Perintah dewa tetap harus dipatuhi", begitu ujarnya.

Pandora menggerutu. Namun pada suatu hari saat suaminya tak ada di rumah, ia tak dapat membendung rasa ingin tahunya yang begitu bergejolak. Istri Epimetheus ini kemudian membuka kotak itu, dan...

Dari dalam kotak keluar bunyi gemuruh dan asap tebal berwarna hitam yang memenuhi ruangan, keluar dan berpusar memenuhi bumi, memasuki seluruh rumah di bumi dan kemudian naik ke langit. Kotak itu tak memiliki dasar, asap dan suara gemuruh tidak berkurang justru makin bertambah-tambah banyak. Pandora pun ketakutan...

Di puncak ketakutannya Pandora berusaha menutup kembali kotak itu, bersamaan dengan berkurangnya asap dan suara gemuruh, istri Epimetheus mendengar suara-suara ratap tangis, rintihan, sedu-sedan, dan suara bisik-bisik yang aneh.

Di dalam kotak itu ternyata Zeus telah mengumpulkan segala macam kesakitan, kebencian, pengkhianatan, kelemahan, segala penyakit dan segala macam hal yang buruk dan yang jahat yang belum pernah diketahui manusia di bumi. Kini karena kelemahan Pandora yang memiliki rasa ingin tahu yang membara seperti api, segala macam keburukan dan kejahatan telah hadir di bumi.

Kendati demikian Zeus hanya ingin menguji manusia. Di tengah segala hal yang mengerikan itu dewa para dewa ini juga memasukkan sesuatu yang dapat melawan segala keburukan dan kejahatan. Sesuatu yang dapat memberi manusia kekuatan untuk menjalani hidup, yakni: HARAPAN.

Ilustrasi: Walter Crane, "The Greek Mythological Legend", 1910

Tuesday, July 22, 2008

Wartawan juga Manusia, Udin juga


Kamis, 13 Agustus 1996, Jam 22.40 Malam

Marsiyem sedang menyetrika di rumah kontrakan di Jalan Parangtritis KM 13, Bantul. Ada lima potong pakaian yang belum selesai ia rampungkan. Tiba-tiba pintu depan kontrakannya diketuk, ia beranjak ke depan. Orang yang mengetuk pintu itu langsung bertanya padanya apakah Fuad Muhammad Syarifuddin ada di rumah. Marsiyem mengatakan ada dan langsung bertanya apa keperluannya malam-malam mencari suaminya. Orang itu mengatakan akan menitipkan motornya di rumah ini.

Marsiyem ke belakang menemui suaminya yang sedang main game komputer, mengatakan ada temannya yang mencarinya di depan. Suaminya beranjak ke depan dan Marsiyem melanjutkan menyetrika.

Tiba-tiba dari depan ia mendengar suara pukulan dan suara orang mengaduh. Marsiyem buru-buru ke depan, dilihatnya suaminya bersimbah darah dan orang yang berniat menitipkan motor itu sudah tidak ada.


Minggu, 16 Agustus 1996

Tiga hari itu adalah kenangan terakhir Marsiyem bersama suaminya. Di hari ini, lelaki berkumis yang rambutnya sudah menipis itu meninggal dipanggil oleh Sang Pemilik Hidup.

* * * * *

Kematian Udin adalah misteri yang tak terpecahkan sampai tulisan ini dibuat. Ketika hidup, Udin kerap menulis tentang ketidakberesan isu-isu ketidakbenaran dan ketidakadilan. Sebagai wartawan, memang tugasnya menulis berita yang ia dapat di lapangan. Investigasi jurnalistik, check and recheck itu yang berlaku. Harian Daerah Bernas di Yogyakarta kerap dihiasi oleh tulisan-tulisannya, bahkan di halaman depan.

Tulisan-tulisan Udin membuka mata para pembacanya mengenai perilaku pemerintah daerah dan membuat resah para pejabat daerah. Yang paling gerah adalah Kolonel Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul. Habis-habisan Sri Roso ditelanjangi tulisan Udin dalam kasus pemberitaan praktek klenik dengan janji uang 1 miliar rupiah apabila ia terpilih lagi menjadi Bupati Bantul periode kedua, 1996-2001.

Tulisan itu menyeruak hingga ke ibukota, sampai Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri saat itu, Suryatna Subrata menyesalkan sikap Sri Roso yang percaya pada perdukunan dalam proses pemilihan bupati. Tak cuma itu, atasan Sri Roso di Angkatan Darat, Jenderal Hartono tak bisa mentolerir tindakan seorang Kolonel apabila benar main dukun untuk memuluskan jabatannya sebagai bupati.

Kasus yang beredar miring mengenai Sri Roso adalah korupsi dan kolusi, tapi tak ditulis Udin di medianya. Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri di masa itu, Soedarjat Nataatmadja juga mengiyakan bahwa Sri Roso tidak terkait dengan kasus korupsi dan kolusi di daerah kekuasaannya, tapi Kolonel ini ditegur karena kesalahannya terlibat kasus perdukunan dalam pemilihan bupati. Udin lebih memilih menulis tentang ketidakberesan berdasarkan fakta dan data yang ia peroleh, seperti kasus sunat dana inpres Desa Tertinggal di Bantul dan yang menyolok adalah Bupati yang ingin terpilih kembali mendatangi dukun dengan menjanjikan uang sebesar 1 miliar rupiah. Kasus terakhir itu yang membuatnya harus meninggalkan istri tercintanya untuk selama-lamanya.

* * * * *

Pengadilan mengusut kematian kasus Udin penuh dengan tanda tanya. Salah seorang oknum reserse Polres Bantul, Aipda Edy Wuryanto, menyamar jadi Franky yang mendatangi Dwi Sumardji alias Iwik, supir sebuah perusahaan periklanan di Jalan Magelang. Oleh Franky alias Edy, Iwik diajak ke sebuah hotel di kawasan Parangtritis, diberinya ia dua orang gadis penghibur dan diberi minuman yang dicampur obat terlarang. Dalam mabuknya, Iwik diiming-imingi hadiah untuk mau mengaku menjadi pembunuh Udin.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta terus menggugat kematian tak wajar wartawan Bernas ini. Sidang-sidang yang dijalankan tak lebih sandiwara belaka sampai akhirnya Iwik mengakui bahwa ia yang tak tahu apa-apa dipaksa oleh Edy Wuryanto untuk mengakui sebagai pembunuh Udin. Kasus ini sempat mencoreng sejarah penegakan keadilan di Indonesia yang sudah penuh coretan di muka, sampai kemudian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum pada Kepolisian RI yang mendiamkan Aipda Edy Wuryanto mendalangi sandiwara ini pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut ditolak oleh tanggal 20 Mei 2003 dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merasa tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, yang berhak adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Di sini pihak tergugatnya adalah penguasa, dalam hal ini Kapolri, Panglima TNI, Kepala Korps Reserse Mabes Polri dan Komandan Pusat Polisi Militer yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar dan memperlambat proses penyelesaian kasus ini, yaitu melindungi Aipda Edy Wuryanto untuk diproses secara hukum.

Waktu yang terus berjalan, seiring dengan berlalunya kasus Udin dan dilupakan. Sampai akhirnya AJI untuk mengenang Udin membuat penghargaan 'Udin Award' bagi jurnalis atau sekelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakkan kemerdekaan pers, kebenaran dan keadilan.

* * * * *

Kasus Udin terkubur begitu saja dan dilupakan banyak orang, sebagaimana banyak cerita yang dipendam dalam-dalam di negeri ini. Namun satu hal yang tak pernah berubah, bahwa kebenaran selalu menyimpan misteri untuk dikuakkan dan akan selalu menjadi cahaya bagi yang mengikutinya.