Monday, May 12, 2008

Hari Ini 10 Tahun yang Lalu


Refleksi Tragedi Kerusuhan 13 Mei 1998.
Potret buruk cermin dibelah bangsa ini. Sidang Umum MPR tanggal 1 - 11 Maret 1998 menetapkan Suharto (lagi-lagi) sebagai Presiden RI yang ketujuh kali periode, masyarakat kecewa. Bakin sudah mengingatkan bahwa kebijakan yang sangat tidak populer mengangkat Suharto kembali menjadi presiden. Pun, timbul kekecewaan massal dipicu dengan diangkatnya Siti Hardiyanti, anak pertama dari Jendral bintang lima ini menjadi Menteri Sosial.

Demonstrasi menuntut mundurnya Suharto merebak di mana-mana. Pemerintah tak ambil pusing, mahasiswa pun lebih tak ambil pusing. Momentum ini pun pecah pada hari Selasa, 12 Mei 1998 dan menjadi pemicu makin ganasnya mahasiswa menuntut demonstrasi. Di hari itu, 4 nyawa mahasiswa Trisakti melayang Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Heri Hartanto tertembak oleh peluru yang dimuntahkan senjata aparat keamanan ke dalam kampus alih-alih untuk menertibkan demonstrasi.

Masyarakat makin berang dan kecewa. Pemerintah tak mau lagi memikirkan kondisi rakyatnya. Di hari ini, 10 tahun yang lalu, adalah momentum di mana Hari Penjarahan Nasional. Keresahan masyarakat dipicu oleh kondisi ekonomi yang morat-marit akibat resesi ekonomi global membuat bangsa yang (katanya) bangsa baik hati dan murah senyum ini merampok dari si kaya. Pasar swalayan habis dijarah, setelah itu dibakar. Bukan cuma itu, beberapa etnis Tionghoa pun menjadi sasaran keberangan sentimen ekonomi.

Di hari ini 10 tahun yang lalu, semua kantor, pasar dan segala kegiatan ekonomi tutup, tak ada yang beroperasi. Semua takut dijarah. Semua takut dibakar. Bisa dibayangkan, orang-orang dengan bangganya mengatakan bahwa di tempat anu, di tempat itu bisa membawa pulang barang-barang bagus untuk dibawa pulang ke rumah.

“Eh, di situ ada barang-barang yang bagus! Mau baju? Mau barang elektronik? Tinggal ambil aja!”
Dan barang-barang itu adalah milih Department Store yang dijarah. Setelah habis barang, toko itu dibakar.

Bagi mereka yang bermata sipit, ketakutan mereka menghantui di hari ini. Bukan cuma di jalan, di rumah pun mereka tak aman. Begitu tahu rumah itu adalah milik etnis Tionghoa, habis tempat kediaman itu dilempari bom molotov dan dibakar. Tak heran untuk mengelabui masyarakat, di depan rumah dan toko-toko mereka ditulis, “Milik Haji, Pribumi”.

Bisa dibayangkan betapa pedihnya di hari ini, kita, bangsa Indonesia 10 tahun yang lalu. Refleksi menuntut reformasi yang digaungkan para mahasiswa kala itu hanya jadi bahan onani siapapun hingga kini.

Siapa sih yang mau reformasi?

Siapa sih yang mau berubah?

Siapa sih yang mau bangsa ini keluar dari keterpurukan?

* * * * *

Mahasiswa mulai bergerak menduduki gedung MPR/DPR. Bisa dibayangkan gedung yang (harusnya) sangat memiliki wibawa di negeri ini, telah kehilangan martabatnya sejak hari ini, 10 tahun yang lalu. Gedung megah tempat para wakil rakyat berkumpul memikirkan kebijakan-kebijakan negeri ini berubah total menjadi tempat rekreasinya para demonstran. Setiap sudut gedung bebas untuk dijelajah! Grafiti tak luput di setiap tembok dan pintu gedung. Uniknya, membawa pacar dan bercengkrama memikirkan masalah-masalah kapan kuliah kelar pun dibawa di tempat ini.

Apa sebenarnya di diperjuangkan?

Ah! Demonstran yang bingung.

Hanya segelintir yang mengerti apa yang mereka perjuangkan.

Dan... Sejarah memang berulang.

Soe Hok Gie makin mati rasa ketika umur makin bertambah, beban menyelesaikan kuliah yang makin sarat, tanggung jawab ke orang tua yang selalu menunggu. Belum lagi teman-teman seperjuangan ketika meruntuhkan Rezim Orde Lama dilirik pemerintah untuk duduk bersama dan berkuasa.

Satu bait karya sastra filsuf Yunani yang sangat dipegang Soe Hok Gie adalah, “Keadaan terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua adalah mati muda. Yang tersial adalah berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Kritikan bagi mereka yang dulu berjuang memperjuangkan demokrasi dipaparkan dalam puisinya yang berjudul "Pesan"

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Ah...
Sulit benar mencari cermin yang benar-benar tembus ke hati...

Catatan Akhir:
  • Untuk semua teman-temanku yang kini ada di Pemerintahan...
  • Untuk semua teman-teman yang dulu kukenal dan kini tengah memperjuangkan nasib kita semua...
  • Untuk semua teman-teman yang pernah kutahu paling keras suaranya di jalanan, yang kini tengah memperjuangkan rakyat dengan menaikkan harga BBM, memperjuangkan makin melangitnya harga-harga yang tak terjangkau kantong kami....
Salam sayang buat kalian semua...



Luqman Hakim
Orang Biasa
13 Mei 2008

13 comments:

Bagdja Nugraha said...

ikut berduka

Kizz JD said...

gw inget banget kejadian itu. tak akan terlupa. jakarta mencekam. kantor gw libur seminggu. lebih mungkin. tp libur bukan untuk senang2, yg ada malah siskamling tiap malam takut diserang penjarah.

Luqman Hakim said...

Duka yang panjang...
10 tahun lewat, kita masih saja 'berduka'...

Luqman Hakim said...

Ya... Gw masih kuliah tapi nyambi kerja di Bank BNI Rasuna Said. Saat itu gw ketemu temen yang saat kuliah memang aktivis dan saat itu dia jadi wartawan. Di kala kerusuhan itu dia turun ke jalan ngeliput berita dan gw cuma berdiri bengong depan kantor dengan seragam BUMN ngeliat kerumunan massa anarkis. Dia ketawa begitu ngeliat gw jadi karyawan Bank.

"Aktivis kok nyambut gawe neng Bank, ha ha ha..."

Ada penyesalan kala itu memilih profesi karyawan Bank. Gw nggak bisa jadi saksi sejarah karena profesi yang nggak memungkinkan, akhirnya keluar dari kantor itu. Saat Tragedi Semanggi II, 13 November 1998, gw sempat nyaksiin langsung bentrokan aparat dengan massa di depan kampus Atmajaya. Banyak saksi bisu potret kelam bangsa kita di masa kerusuhan dari jepretan kamera gw di waktu itu...

Seto Wibowo said...

Waduh, pertanyaan ini susah di jawab.
Dulu saat mendengungkan reformasi dan perubahan, sampai akhirnya menjadi teriakan dan aksi, seakan aku ingin reformasi, ingin berubah, bangsa ku harus besar dan keluar dari keterpurukan.
Hmmmmmm apakah benar begitu?
Apakah bukannya....
"Mereka harus di reformasi!" (bukan aku)
"Mereka harus berubah" (aku tak perlu berubah)
"Aku ingin keluar dari keterpurukan" (aku ingin kaya)

Ah... entahlah, aku mungkin kecewa, aku mungkin apatis

d . said...

ketika 2 kubu yang dibawah saling menyerang dan bentrok, yang di atas silaturahmi makan siang bersama ... :D

J O W V Y Kumala said...

aku masih inget, waktu itu sampe sesenggukan di depan tivi nonton kekejaman yang tengah berlangsung.... ngeri-sedih-takut-prihatin

Fathiyah Madinah Akbar said...

hari itu istri gw kejebak di kampus 2 hari. ga bisa pulang.

Luqman Hakim said...

Hiks...
Persis seperti tulisan akhirku...
Sulit benar mencari cermin yang benar-benar tembus ke hati...

Robert AA said...

Yang pasti.. gw masih di kantor... 10 tahun yg lalu...
Baru dapet izin pulang jam 3 sore... dianter temen sampe stasiun Pasar Minggu Baru.. diperjalanan... gw liat Goro Pasar Minggu dibakar.. dan dijarah... Sampe Pasar Minggu.. Robinson Pasar Minggu lagi terbakar dan isinya dijarah...
Kereta yg gw tumpangin penuh dengan barang jarahan.. dan udah bau minyak tanah.... di atas gerbong penuh dengan kasur, bantal, TV, dll dll.. hasil jarahan juga... SEREM.... *sambil bayangin serem-nya muka ANAK SETAN*

kakatya tya said...

kayaknya bakal terulang deh mas kejadiannya... mengingat misi-nya s/d hari ini blm jg terwujud...(hehehehe...sok teu ya)

kucing badung said...

maap mas kayanya judul ini pernah sama ama apa yaakk lupa,...tp inilah indonesia....
banyak yg pinter mas tp kbelnger..

hani - said...

sesek... mau apatis salah mau peduli ngenes