Tuesday, July 22, 2008

Wartawan juga Manusia, Udin juga


Kamis, 13 Agustus 1996, Jam 22.40 Malam

Marsiyem sedang menyetrika di rumah kontrakan di Jalan Parangtritis KM 13, Bantul. Ada lima potong pakaian yang belum selesai ia rampungkan. Tiba-tiba pintu depan kontrakannya diketuk, ia beranjak ke depan. Orang yang mengetuk pintu itu langsung bertanya padanya apakah Fuad Muhammad Syarifuddin ada di rumah. Marsiyem mengatakan ada dan langsung bertanya apa keperluannya malam-malam mencari suaminya. Orang itu mengatakan akan menitipkan motornya di rumah ini.

Marsiyem ke belakang menemui suaminya yang sedang main game komputer, mengatakan ada temannya yang mencarinya di depan. Suaminya beranjak ke depan dan Marsiyem melanjutkan menyetrika.

Tiba-tiba dari depan ia mendengar suara pukulan dan suara orang mengaduh. Marsiyem buru-buru ke depan, dilihatnya suaminya bersimbah darah dan orang yang berniat menitipkan motor itu sudah tidak ada.


Minggu, 16 Agustus 1996

Tiga hari itu adalah kenangan terakhir Marsiyem bersama suaminya. Di hari ini, lelaki berkumis yang rambutnya sudah menipis itu meninggal dipanggil oleh Sang Pemilik Hidup.

* * * * *

Kematian Udin adalah misteri yang tak terpecahkan sampai tulisan ini dibuat. Ketika hidup, Udin kerap menulis tentang ketidakberesan isu-isu ketidakbenaran dan ketidakadilan. Sebagai wartawan, memang tugasnya menulis berita yang ia dapat di lapangan. Investigasi jurnalistik, check and recheck itu yang berlaku. Harian Daerah Bernas di Yogyakarta kerap dihiasi oleh tulisan-tulisannya, bahkan di halaman depan.

Tulisan-tulisan Udin membuka mata para pembacanya mengenai perilaku pemerintah daerah dan membuat resah para pejabat daerah. Yang paling gerah adalah Kolonel Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul. Habis-habisan Sri Roso ditelanjangi tulisan Udin dalam kasus pemberitaan praktek klenik dengan janji uang 1 miliar rupiah apabila ia terpilih lagi menjadi Bupati Bantul periode kedua, 1996-2001.

Tulisan itu menyeruak hingga ke ibukota, sampai Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri saat itu, Suryatna Subrata menyesalkan sikap Sri Roso yang percaya pada perdukunan dalam proses pemilihan bupati. Tak cuma itu, atasan Sri Roso di Angkatan Darat, Jenderal Hartono tak bisa mentolerir tindakan seorang Kolonel apabila benar main dukun untuk memuluskan jabatannya sebagai bupati.

Kasus yang beredar miring mengenai Sri Roso adalah korupsi dan kolusi, tapi tak ditulis Udin di medianya. Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri di masa itu, Soedarjat Nataatmadja juga mengiyakan bahwa Sri Roso tidak terkait dengan kasus korupsi dan kolusi di daerah kekuasaannya, tapi Kolonel ini ditegur karena kesalahannya terlibat kasus perdukunan dalam pemilihan bupati. Udin lebih memilih menulis tentang ketidakberesan berdasarkan fakta dan data yang ia peroleh, seperti kasus sunat dana inpres Desa Tertinggal di Bantul dan yang menyolok adalah Bupati yang ingin terpilih kembali mendatangi dukun dengan menjanjikan uang sebesar 1 miliar rupiah. Kasus terakhir itu yang membuatnya harus meninggalkan istri tercintanya untuk selama-lamanya.

* * * * *

Pengadilan mengusut kematian kasus Udin penuh dengan tanda tanya. Salah seorang oknum reserse Polres Bantul, Aipda Edy Wuryanto, menyamar jadi Franky yang mendatangi Dwi Sumardji alias Iwik, supir sebuah perusahaan periklanan di Jalan Magelang. Oleh Franky alias Edy, Iwik diajak ke sebuah hotel di kawasan Parangtritis, diberinya ia dua orang gadis penghibur dan diberi minuman yang dicampur obat terlarang. Dalam mabuknya, Iwik diiming-imingi hadiah untuk mau mengaku menjadi pembunuh Udin.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta terus menggugat kematian tak wajar wartawan Bernas ini. Sidang-sidang yang dijalankan tak lebih sandiwara belaka sampai akhirnya Iwik mengakui bahwa ia yang tak tahu apa-apa dipaksa oleh Edy Wuryanto untuk mengakui sebagai pembunuh Udin. Kasus ini sempat mencoreng sejarah penegakan keadilan di Indonesia yang sudah penuh coretan di muka, sampai kemudian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum pada Kepolisian RI yang mendiamkan Aipda Edy Wuryanto mendalangi sandiwara ini pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut ditolak oleh tanggal 20 Mei 2003 dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merasa tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, yang berhak adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Di sini pihak tergugatnya adalah penguasa, dalam hal ini Kapolri, Panglima TNI, Kepala Korps Reserse Mabes Polri dan Komandan Pusat Polisi Militer yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar dan memperlambat proses penyelesaian kasus ini, yaitu melindungi Aipda Edy Wuryanto untuk diproses secara hukum.

Waktu yang terus berjalan, seiring dengan berlalunya kasus Udin dan dilupakan. Sampai akhirnya AJI untuk mengenang Udin membuat penghargaan 'Udin Award' bagi jurnalis atau sekelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakkan kemerdekaan pers, kebenaran dan keadilan.

* * * * *

Kasus Udin terkubur begitu saja dan dilupakan banyak orang, sebagaimana banyak cerita yang dipendam dalam-dalam di negeri ini. Namun satu hal yang tak pernah berubah, bahwa kebenaran selalu menyimpan misteri untuk dikuakkan dan akan selalu menjadi cahaya bagi yang mengikutinya.

12 comments:

~ siskaris ~ said...

yogyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..... pernah geger, kasus yg ta terselesaikan...

Kizz JD said...

wah diingetin lagi kasus ini..
ulasan bung lukman setajam silet!

Leonardes Kurniawan said...

Pahit memang, ngak selama nya kebenaran menang seperti di film2 yah...hiks

Luqman Hakim said...

Hiks... Kangen Yogya Sis...

Luqman Hakim said...

Oalah... Kizz, ade-ade aje lo!

Luqman Hakim said...

Teprok tangan untuk 'Dek Iwang' He he he..

Evia NW Koos said...

katanya kosong, masih bisa dibaca danjuga direply.
piye iki???

Evia NW Koos said...

baca gini aku jadi tahu kasus kasus di tanah air yang sering terlewatkan. baca lewat media online sering bikin mumet. bahasanya berulang ulang dan investigasinya gak runut.

Evia NW Koos said...

aku tag deh.
keinget kasus yang sedang hangat di kampung kita. kasus represif dan intimidasi. hanya karena laporan sepihak, lantas bisa bisa mengancam pihak yang lain tanpa melalui proses cek dan ricek.

Amelia Febriani said...

hihihi mba evi penasran ngeklik juga! ;))

Kayaknya dulu pernah denger kasusnya.. Sekaramg gimana kabarnya kasus ini mas, dah ada kelanjutannya?

Evia NW Koos said...

gak ada kabarnya.
wes ewes ewes ewessss bablas angine. kayak kasusnya Munir.

Luqman Hakim said...

Kalo yang ini masih bisa, tapi yang jurnal 51 yang nggak ada...