Sunday, August 17, 2008

Teks Proklamasi [Revisi]


Kami bangsa Indonesia dengan ini meragoekan kemerdekaan rakjat Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pengambilan kekoeasaan dari rakjat d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama, mendjaoehkan rakjat dari nasionalismenja, mendjadikan politik sebagai alat pemetjah-belah dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja, akan teroes kami hindari dan kami lawan semampoe-mampoenja.



Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 2008.
Atas nama bangsa Indonesia.
Seloeroeh rakjat Indonesia.

14 comments:

Syafiq Baktir said...

hehe.. kreatif mas Lukman :)

Luqman Hakim said...

Bukan kreatif Mas Syafiq, ini kenyataan yang harus dikabarkan...
Ah! Kok ya aku jadi nyontek syair "Kesaksian"-nya Kantata, ha ha ha...

elvin hendratha said...

Bukankah BK pernah berkata : 'Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya'

Luqman Hakim said...

Revisi ini versi rakyat Mas...

Entahlah kalau saya masih (boleh) dibilang rakyat atau bukan, setidaknya ini versi saya di mana rasa kebangsaan saya yang makin hilang dan nasionalisme saya yang sudah jadi debu. Entah juga, apa setiap jaman makin berbeda cara orang berpikir tentang nasionalisme dan kebangsaannya...

Ambigu dan skeptis, yang ditakutkan bila tiap mendengar lagu Indonesia Raya hampir sama seperti mendengar lagu "Dikocok-kocok"-nya Inul Daratista, langsung saja bergoyang tanpa getar di dada.

Ah...

elvin hendratha said...

ketika ada fakta bahwa banyak yang lebih menyukai
memakai kaos atau memasang poster bergambar che guevara daripada
pahlawan nasionalnya. maka saya berpikir, apakah ini merupakan bentuk
protes kerinduan terhadap sosok pemimpin yang membela rakyatnya ?

disisi lain faktanya beberapa tokoh nasional yang jelas menjadi idolanya,
semakin dijadikan sebagai 'berhala' merebut simpati. klaim terjadi.
baju tokoh kita mendadak menjadi sempit, satu ukuran saja.

sehingga di tengah krisis kepemimpinan dan juga kekwatiran ambrolnya nasionalisme maka memasang che guevara atau mendengar 'IR' sama
dengan mendengar lagu 'dikocok-kocok' adalah sebuah pilihan....

tadi siang saya melihat tayangan di metrotv tentang profil seorang pejuang
dari nganjuk (namanya lupa juari apa siapa ya) yang bertugas memikul
tandu panglima besar (yang asli) pak dirman, saya sungguh trenyuh...
betapa memilukan keadaannya ..... beliau bercerita dengan bangga
bahwa pak dirman memberinya kenang-kenangan sebuah selendang
katanya sambil menatap lukisan panglima besar (yang asli) itu ....

imang jasmine said...

aku pengin dengar teks revisinya dibacakan ketua mpr .....

Luqman Hakim said...

Sama seperti begini Mas, ketika di konser-konser Iwan Fals, mengusung poster besar yang bertuliskan "Iwan Fals for President" , maka saya sangat setuju dengan Mas Elvin, yang ada kontemplasi kita merindukan sosok pemimpin besar yang (mungkin saja) seperti Jendral Sudirman, Bung Hatta, atau siapa saja di mana kita melihatnya sebagai sosok yang jujur dan mau membela hati nurani rakyat.

Saya tak mau menulis tentang Che Guevara, saya tak mau menulis Bung Karno, saya tak mau menulis tentang pemimpin-pemimpin yang pernah, apalagi yang bisa mengecewakan hati dengan beberapa sifat kecil, apalagi yang besar dengan segala keanehannya sebagai manusia.

To err is human, sampai-sampai seorang Iwan Fals pun diidolakan untuk jadi presiden, sampai batasan politik itu benar-benar dicampur-adukkan dengan seni dalam konteks mencari jalan pintas. Saya takkan membahas masalah artis yang terjun ke politik, biarkan mereka meramaikan politik itu sendiri dengan polah tingkahnya, biarkan saja. Sayapun teramat yakin Iwan Fals sudah dipinang oleh banyak Partai untuk jadi Wakil Presiden atas dasar jalan pintas tadi, ITU PASTI, namun yang jadi bahan kontemplasi kita, mampukah Iwan Fals tetap jujur menyuarakan apa-apa yang sudah diteriakkannya sebelumnya bila ia benar-benar mau 'menikah' dengan makhluk yang bernama politik?

Kita tetap butuh wujud simbol oposisi yang diwakilkan Iwan Fals, oposisi jalanan yang berwujud kesenian...

Saya meminjam kutipan J.F.K. yang dikhususkan untuk konteks ini:
"Bila politik sudah memecah belah, biar seni yang menyatukannya..."

Luqman Hakim said...

Kalo Ketua MPR yang sekarang yang bacain, rasanya nggak mungkin.
Kalo Ketua MPR-nya Luqman Hakim, atau Imang Jasmine, atau siapa saja yang merasakan kesamaan ini, bakal bubar negara! Bikin rakyat skeptik sama negaranya sendiri, ha ha ha...

Marto Art said...

Kalo mas Lukman mo turut merawikan kutipan J.F.K. yang benar begini; "Bila politik kotor, biar seni yang membersihkannya".

Anyway Vin, siapapun dan dari manapun tokohnya (mau che, soekarno, mau dari argentina atau kediri), asal bagian dari perjuangannya bernilai kemanusiaan yang tinggi, aku akan ambil.

yani qiute said...

hahahahaha...bisa aja nih mas Luqman
Tapi kalo teks Proklamasi dibacain sm para Koruptor pasti lebih hikmat deh.... :)
hihihi

Luqman Hakim said...

Apabila dalam pelaksanaannya ada warung angkringan dekat istana, Presiden, Wakil Presiden dan para menteri membicarakan masalah negara sambil menyeruput kopi atau minum wedang jahe dengan orang-orang di sekelilingnya ikut mendengarkan, ada polisi, ada PNS, ada karyawan sebuah perusahaan, ada buruh di Tanjung Priok, ada Direktur sebuah perusahaan multinasional, ada politisi, ada mahasiswa demonstran, sesekali kita semua di sana mengkritisi presiden, wakil presiden dan para menteri penyelenggara negara dalam khidmatnya warung angkringan, duh, niscaya masalah apapun bisa di selesaikan dalam kaedah kebersamaan dalam sebuah negara.

Maaf, saya tengah bermimpi, di tengah kesibukan semua orang yang saya sebut di atas tadi, tak pernah ada keidealan seperti ini. Presiden, Wakil Presiden dan para menteri akan takut nongkrong di warung angkringan tanpa protokoler kawalan, ada saja ketakutan bahwa makanannya akan diracun, atau malah kepala mereka dipenggal orang lain saat duduk bersama. Ketakutan akan kematian di sini yang sangat manusiawi, akhirnya mereka memilih duduk bersama dengan orang-orang yang punya kepentingan pribadi, sampai kepentingan besar di balik ini semua terlupa untuk dibahasnya...

* Maaf, saya cuma rakyat dan bisanya cuma mengkritisi, itupun hanya bisa diblog ini... *

Luqman Hakim said...

Kalo dibacain koruptor, mending koruptornya angkat aja jadi presiden dan biarkan negara ini makin tambah jadi dan jadi...
Aku kok apatis banget ya? Hiks...

Luqman Hakim said...

Rawian itu aku pindahkan konteksnya sedikit untuk masalah ini dengan tidak mengurangi bobot redaksional kata-katanya lho Mas Marto.
Btw, makasih banget atas segalanya, ya ilmunya, ya diskusinya, ya pokoknya segalanya...

Luqman Hakim said...

Ya begitulah Mas Elvin, kadang, simbol itu yang selalu dilihat sebagai bentuk wujud representasi kenyataan secara keseluruhan. Padahal ini sama aja seperti 3 orang buta mempersepsikan gajah. Orang buta pertama bilang gajah itu lebar seperti kipas, orang buta kedua bilang gajah itu besar seperti pohon kelapa, orang buta ketiga bilang gajah itu meliuk seperti tali.