Friday, October 10, 2008

Bandel Sajalah Sana! Tapi...


Berawal dari email temen, isinya foto perempuan-perempuan yang beberapa di antaranya (relatif) cantik dari sudut pandang tertentu. Email dengan attachment tanpa informasi, langsung gw bales gokil, "berapa tarifnya?" Gue bilang begitu soalnya yakin banget ini pasti foto luar dan bukan orang Indonesia, karakter wajah-wajahnya memang lebih ke arah oriental.

Tapi begitu temen gue bilang dan menjamin kalo ini foto asli orang Indonesia, foto para terapis di salah satu pusat kebugaran di Jakarta (entah sapa yang motret, temen gue nggak cerita), mata gue jadi terbelalak lebar, otak membinal, nafsu meliar, meracau edan dan mengkhayal yang bukan-bukan.

Gue jadi cerewet nanya segala informasi. Lokasinya di mana, berapa tarifnya untuk kebugaran, fasilitas apa aja yang didapat dan value added lainnya. Temen gue yang sering ke sana tertawa, menginformasikan sejelas-jelasnya, bahkan menjabarkan dengan jelas segala value added yang didapat bila pandai men-serve-nya, terutama dengan uang.

* * * * *

Beberapa temen kompakan weekend ini berkunjung ke sana, melepas penat seminggu penuh pasca lebaran dan masuk kantor. Gue diajak tapi masih mikir, meski ada salah satu perempuan di foto itu yang bikin gue juga jadi berpikir macam-macam. Temen-temen ketawa, gue dibilang pengecut, 'omdo' (omong doang) dan segala macam ledekan lainnya. Gue cuma bisa cengar-cengir, itu hal yang paling mudah dilakukan bila dalam kondisi tersudut.

Dalam cengar-cengir itu, tiba-tiba ada telpon dari rumah, istri yang nanyain kabar gue sekarang padahal tadi pagi sebelum berangkat kantor juga udah ketemu. Anak yang nanya-tanya kerja apa gue di kantor dan minta cepat pulang, kangen katanya.

Telpon ditutup. Gue makin tambah mikir. Bener-bener mikir sedalam-dalamnya. Otak gue jadi tergambar jelas beberapa kejadian yang sempet bikin gue mikir tentang 'badan berisi darah dan daging yang dibungkus kulit' ini. Manusia memang tercipta begitu, asalnya dari tanah, tapi mengingat kejadian meninggalnya nenek kandung dan bapak mertua gue bener-bener bikin jadi diam.

Saat mereka meninggal, gue turun ke liang lahat, membopong mayat yang dibungkus kain kafan itu dibaringkan di tanah dan menghadap kiblat. Bagian kain kafan yang menutupi wajah memucat tanpa darah itu dibuka, ditempelkan ke dinding tanah, dibaringkan baik-baik. Setelah itu gue naik ke atas, menimbunnya dengan tanah.

Tak ada tangis, tak ada air mata yang tumpah, sama persis waktu gue kehilangan anak kembar gue (klik di sini ceritanya), nggak ada air setetespun air mata yang tumpah. Cuma mikir, kontemplasi dan makin terdiam dalam...

* * * * *

Ramadhan kemaren, lewat Subhan, Ketua Rohani Islam di kantor gue dengan beberapa temen (yang pasti nggak termasuk gue) memang menghidupkan Ramadhan dengan membentuk segala macam kajian-kajian Islam, mengajak amar ma'ruf nahi munkar bersama. Gue termasuk yang mbeling, dari dulu nggak pernah mau diatur dan nggak mau mengatur.

Ikut pengajian ya cuma tergantung mood. Kalo lagi mood ya ikut ngaji, kalo nggak mood, ya paling istirahat, tidur siang. Peduli amat jam kerja gue tidur, paling nggak semua kerjaan udah gue manage penyelesaiannya tepat waktu. Untungnya, di kantor gue nemu satu lokasi tempat tidur siang yang aman dan nggak diketahui orang sekantor, he he he. Tempat itu memang sangat gue rahasiakan, takut kalo temen lain tau, lokasi tidur gue itu malah dipake tidur orang lain.

Tapi saat gue ikut ngaji di kantor, ada salah satu materi kajian yang juga bikin gue mikir. Si Ustadz nyentil pola pemikiran jama'ahnya dengan pernyataan;
  • Kita semua asyik bekerja mencari nafkah dalam konteks kerja adalah ibadah. Itu betul.
  • Kita semua juga asyik membina ekonomi keluarga dalam rangka keutuhan rumah tangga agar selalu dalam keadaan berkecukupan. Itu juga betul.
  • Kita semua juga menginginkan anak kita mendapatkan pendidikannya yang terbaik, menyekolahkan di sekolah dengan harapan biar pinter dan jadi kebanggaan orang tua. Itu nggak bisa dipungkiri, semua orang menginginkannya dan sangat betul.
  • Kita semua berusaha keras menabung agar di hari tua nanti kita nggak kekurangan, nggak jadi orang yang terlunta-lunta dan jadi tanggungan pemerintah lalu masuk panti jompo. Ini apalagi, siapa juga yang mau tuanya jadi beban dan pastinya keinginan begini memang betul.
  • Tapi... Apa pernah berpikir untuk mencari akhirat? Kenapa segala yang diinginkan itu semua serba dunia?
Degh... Omongan ini makin tambah menyentil. Si Ustadz yang memang humoris ini dengan lucunya menyampaikan lelucon-leucon segar yang bikin tertawa jama'ahnya. Tapi anehnya gue nggak bisa tertawa, gue makin bikin gue tertunduk, pernyataan ustadz yang bilang bahwa titik tolak manusia ada di usia 40-an itu yang bikin gue mikir.

Life begins at fourty...

Itu pepatah yang sering diomongin dan sepertinya nggak pernah basi. Di usia itu manusia bisa jadi tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Entah jadi yang bagaimana, jadi yang membaik atau memburuk, atau tetap seperti ini-ini saja.

Jadi ingat saat kumpul-kumpul lagi sama temen SMA, beberapa temen yang dulunya paling bandel, tukang berantem, tukang mabok, sekarang malah jadi orang yang paling agamis dan paling sabar. Temen perempuan yang dulunya juga paling centil, tukang pacaran, tukang matahin hati laki-laki, sekarang malah berjilbab rapat dan paling baik di antara kita. Mereka jadi orang-orang yang selalu mengingatkan dalam kebaikan, selalu membawakan hawa segar udara ukhuwah dan persaudaraan.

Omongan ustadz itu memang bikin gue mikir. Di usia yang sudah masuk tigapuluhan belom punya tabungan apa-apa, dalam hal ini akhirat, malah nggak pernah kepikiran akan hal itu. Gue juga makin mikir, apa yang terjadi kalo satu saat nanti gue dimasukin ke lubang di tanah yang gelap, diuruk, trus ditinggal sendiri di sana sedang orang-orang yang deket sama gue pulang ke rumahnya masing-masing.

Kayaknya, diam dan berkontemplasi itu memang jalannya...

Diingatkan itu yang jadi esensinya...

Saling berbagi dalam kebaikan itu inginnya...

Terus selalu mendoakan dalam kebaikan itu inti dari segalanya...

Ah... Kok ya gue jadi pengen sendirian aja weekend ini...


Kalo mau ngomentarin silahkan aja, tapi maaf ya, di kolom ini gue nggak akan ngebalesin apa-apa.
Ini cuma tulisan kontemplatif. No heart feeling tentang foto dan kenyataan yang apa adanya.

22 comments:

Eka Kurnia said...

masya Alloh, selamat berkontemplasi ya om...

Marto Art said...

Life begins at forty...

Man, kalo lihat foto yang kamu posting itu, rasanya lebih pas diganti;

"Life begins at 9 PM"

he he...

Robert AA said...

Maen Ke Rumah Gw ajah.. Nanti gw bagi bibit Cabe sama bunga Matahari..
Bijimane?

d . said...

klo udah jadi bunga matahari, kabar2 ya ka obet :D

Lili Sundaningsih said...

mo komen apa yah????*mikir masih blom ada tabungan akherat*kacaw

carrot soup said...

love this part..miss them so much. (temen2 SMA maksudnya).

>> manusia songong said...

itu pante pijat dimana broh

Seto Wibowo said...

Makasih buat tulisannya mas....

nabil habsyie said...

ya bener kata inyong dimana dan bagi gue potonya

Muhammad Nur Ihsan said...

man, lagi hunting moto model ya?

~ siskaris ~ said...

moral cerita: ....
abis kepanjangan bacanya... cuma bisa meraba2... ahahaha....

ndherek belasungkawa ya man, atas berpulangnya si kembar.

blanthik_ ayu said...

lukboooooooooiiiiiiiiiiiiiii....maap lahir bathin yeee.....:D

Kizz JD said...

ya deh gw gak komen...

aris danar said...

buat variasi bang hehe he..

Henky Hendranantha said...

sendiriannya ngapain tapi? :p

Luqman Hakim said...

Adaaaaaaaa.... aja!
Ha ha ha...

Fathiyah Madinah Akbar said...

tul banget bro,

ada kalanya manusia suka lupa. itu sebabnya kita juga perlu doa dari istri dan anak kita semoga terhindar dari godaan yg bisa membuat kita tercela.

(cieee...kesannya...)

Luqman Hakim said...

Yak betul! Makanya sekarang kita berjoget...

Ade Puspitasari said...

mm..

selly Carter said...

Alhamdulillah banget ya kalau mas Luqman masih bisa terhindar dari 'hal-hal' yang kya gini. Keliatannya sih emang nafsuin banget fotonya ya. Tapi buat aku, gimana bisa nahan 'godaan2' itu baru keren namanya. Alasan apapun yang bikin mas Luqman bisa menahan godaan tersebut, aku salut.

edward pilihan said...

di mana alamatnya boss

intan suri said...

yang bener apa ya? life begins at forty apa life is begin at forty?