Saturday, November 8, 2008

Kekuatan Karakter[?] Perlukah Itu?


Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan mengumumkan eksekusi terpidana mati kasus Bom Bali I (ANTARA/Jefri Aries)
Dari laporan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan, dalam jumpa persnya di Kejaksaan Agung, Minggu, 9 November 2008 pukul 02.30 WIB, mengatakan bahwa Imam Samudra alias Abdul Azis, Amrozi, Ali Gufron alias Muklas dieksekusi mati Minggu dini hari di Lembah Nirbaya, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada pukul 00.15 WIB.

Polemik panjang waktu pelaksanaan eksekusi terjawab sudah. Sejak kejadian Bom Bali I di malam hari pukul 23.10 WITA pada tanggal 12 Oktober 2002.  202 orang tewas dan 325 luka-luka, terdiri dari warga asing, orang Indonesia dan umat Muslim sendiri. Lewat berbagai usaha dan didampingi AFP (Australian Federal Police), tanggal 5 November 2002 ditangkap 15 orang para para pelaku termasuk ketiganya yang dieksekusi hari ini.

Pro-kontra mewarnai berita Indonesia selama kurun waktu 6 tahun sampai eksekusi dilaksanakan. Banyak yang geram dengan ulah mereka sebagai teroris yang mengatasnamakan jihad, tapi tak sedikit yang membela dan menyayangkan pihak Indonesia yang lebih mengakomodir keinginan dan intervensi dunia internasional dalam kasus ini.

Apapun adanya, perbedaan pendapat yang menjurus kesalahkaprahan dalam penerapan syariat Islam ini perlu dikaji.


Kekuatan Karakter, Benar atau Salah?

Ada dua cara untuk menjalani hidup ini dengan mudah,
percaya pada segala sesuatu atau meragukan segala sesuatu;
kedua cara tersebut membebaskan kita dari berpikir.
Theodore Rubin

Sudah seharusnya setiap manusia memiliki kekuatan karakter yang akan membantunya di dalam hidup. Tengok kehidupan sehari-hari, begitu banyak orang-orang yang tak mempunyai kekuatan karakter hanya jadi pembeo, mengikuti arus dan jadi bulan-bulanan kehidupan yang keras dan tak bersahabat. Kalaupun diberi kesempatan memegang jabatan atau kekuasaan, bisa jadi ia terbawa arus ikut-ikutan, terpengaruh keinginan untuk menyelewengkan jabatan, memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri. Ketika dihadapkan pada hukum dan jadi tersangka, alasan klise yang keluar, saya khilaf, saya terpengaruh, dlsbg.

Kekuatan karakter yang dimiliki oleh Imam Samudra alias Abdul Azis, Amrozi, Ali Gufron alias Muklas, mereka begitu yakin akan perbuatan membom daerah di Jl. Legian, Kuta Bali sebagai tindakan jihad fi sabilillah memerangi musuh-musuh Allah. Sampai pada eksekusinya, mereka memilih tidak memakai penutup mata demi melihat sendiri kematiannya. Menghadapi kematian dengan berani, sebagaimana keharusan setiap orang untuk menghadapi kehidupannya juga harus dengan berani.

Tapi apakah tindakan tersebut dibenarkan?

Dalam kacamata awam secara luas jelas sangat tidak dibenarkan. Dalam kacamata agama sekalipun, tindakan yang merugikan orang banyak jelas-jelas dilarang. Tapi apa dasar yang meyakini tindakan itu sebagai jihad fi sabilillah?

Dalam satu hadist, umat Islam jelas dianjurkan untuk memerangi kebatilan dalam rangka Amar Ma'ruf Nahi Munkar, lawanlah dengan tanganmu (kekuatanmu), lawan dengan mulutmu, apabila tidak bisa lawanlah dengan hati dan itu selemah-lemahnya iman. Imam Samudra cs lebih memilih melawan dengan kekuatan, meski pada akhirnya berujung tewasnya ratusan orang termasuk juga Muslim sendiri. Dalam salah satu jumpa pers ia mengatakan tidak menyesal melakukan itu, ia hanya menyesalkan kenapa ada Muslim yang pergi ke tempat-tempat maksiat hingga terbunuh oleh bom itu.

Pun sampai akhir hayatnya, kekuatan karakter itu juga yang mengantarkannya pada kematian. Dengan berani ia hadapi kematian karena hidup hanya sekali, seolah menerapkan perkataan Kabir, seorang tokoh sufi;

Ia yang datang, akan pergi.
Seorang penguasa, pengemis atau pertapa, setiap orang yang lahir pasti mati. Menghembuskan nafas terakhir di atas tahta, atau diseret ke dalam kubur dengan kaki dan tangan terikat, apa bedanya?
Kabir


Kekuatan Karakter, Berguna atau Tidak Berguna?

Dalam satu diskusi, saya pernah membandingkan karakter Vincent Van Gogh dengan Pablo Picasso, dua-duanya seniman besar dan karya keduanya tergolong paling mahal saat ini. Tapi bandingkan kehidupan keduanya ketika masih hidup.

Vincent Van Gogh baru mulai melukis di usia 27 tahun setelah gagal jadi pendeta, menghabiskan hari-harinya dengan melukis. Namun sampai pada satu titik ia mengidap psikosis dan tak mampu memisahkan dunia ide dengan realita, ia harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa Arles, sampai pada kematiannya, hanya satu lukisannya yang terjual semasa hidup, itupun dengan harga yang murah. Van Gogh tak memiliki keturunan dan karya-karyanya kini jadi incaran banyak kolektor, harga karyanya yang dilelangpun jadi mahal. Namun sangat disayangkan keuntungan dari situ tak ada yang mengalir ke keluarga sebab ia memang tak memilikinya.

Pablo Picasso tergolong seniman nyentrik, pelopor aliran dadais dan surealis dengan lukisan-lukisannya yang menggambarkan alam bawah sadar. Termasuk orang yang egois dan akan melakukan apa saja demi keinginannya. Pernah dalam satu cerita ia ingin memiliki sebuah mangkuk di sebuah toko, saat ia sudah mengambilnya dan ingin membayar ia lupa membawa uang, tapi mangkuk itu sangat diinginkannya. Dihampiri kasir toko itu, bertanya apakah ia kenal dengan salah satu pejabat yang disebutkan namanya, kasir itu mengiyakan. Ia juga bertanya apakah tau kalau pejabat itu di rumahnya banyak koleksi lukisan Pablo Picasso, kasir itu terlongo-longo tapi mengiyakan. Ia lalu bertanya, apakah tau siapa Pablo Picasso itu? Tak lain dan tak bukan dirinya sendiri yang membawa mangkuk itu. Kasir itu cuma melongo, tak mengerti tapi mengiyakan. Tiba-tiba Pablo Picasso berkata bahwa ia sedang mendapat inspirasi untuk melukis di daerah ini di sekitar toko, tapi butuh mangkuk itu dan memintanya. Si kasir mengiyakan. Pablo Picasso hanya melingkari mangkuk itu di tembok, lantas membubuhkan tanda tangan di situ, lantas pergi. Itulah inspirasi yang dikatakannya pada kasir yang melongo tadi. Pablo Picasso terkenal banyak didampingi perempuan, tapi di akhir hayatnya, ia mewarisi harta yang tak ternilai harganya dari karya-karyanya, tujuh turunannya sekalipun tak akan kekuranganan materi lewat yayasan yang mengurusi hak cipta karya-karyanya.

Benang merah yang diambil dari dua cerita di atas, setiap orang harus memiliki kisahnya tersendiri, tanpa membeo, tanpa ikut-ikutan. Membentuk karakter itu dalam format yang ideal. Van Gogh dalam format keidealannya meski hidup sendiri dan sepi, hingga akhir hayatnya ia cuma dikenang dan tak ada yang mewarisi yang ia punyai. Sebaliknya Pablo Picasso dengan kenyentrikannya, hidup tak sendiri dan ia mewarisi yang ia miliki untuk keturunannya dan tak akan kekurangan dari segi materi.

Pertanyaannya, bergunakah kita untuk kehidupan?

Minimal untuk keluarga, syukur-syukur berkembang ke lingkungan sampai ke seluruh kehidupan. Orang akan melihatnya sebagai orang yang memiliki kekuatan karakter dan dikenang dalam sejarah.

* * * * *

Eksekusi terpidana mati kasus Bom Bali I ini juga menimbulkan pelajaran tersendiri. Kontroversi yang mengatakan bahwa tindakan ini adalah tindakan sedang MUI lewat ketuanya Umar Shihab mengatakan bahwa tindakan itu bukan jihad. Saya takkan membahas kontroversi ini, sesuai judul, saya hanya membahas kekuatan karakter dalam konteks benar atau salah. Kasus yang baru saja terjadi adalah sebuah pelajaran diam untuk dicermati.

Tulisan ini dibuat dengan ajakan bersama untuk sama-sama memiliki kekuatan karakter tanpa membela atau mencela kejadian yang baru terjadi. Menghujat itu saya hindari juga bersimpati, saya  berpaling pada Pasal 221 KUHP yang melarang kita melindungi atau bersimpati pada tersangka pidana. Saya hanya membahasnya dari segi kekuatan karakter yang memang perlu dimiliki meski itu bisa benar, bisa saja salah.

Kekuatan karakter perlu dimiliki agar tak terseret arus ikut-ikutan dan membeo tanpa dasar yang jelas. Namun kekuatan karakter harus dikembalikan ke masyarakat apalagi diri sendiri, berguna atau tidak, kekuatan karakter itu?


NB:
Mohon maaf, Foto Bareng Imam Samudra'[?] saya hilangkan dari peredaran, mengingat tak pantas memajangnya pada hal-hal yang memang satir adanya.

Luqman Hakim
9 November 2008

21 comments:

Ade Puspitasari said...

siip. ku dukung, mas

Ade Puspitasari said...

mm...kekuatan karakter itu memang perlu dikarenakan disanalah titik tolak dimana kita berbeda dan mempunyai ciri khas. Kita telah menjadi seorang manusia. Tapi tentu saja ada batas-batas norma umum masyarakat yang harus diikuti. Ga bisa semaunya aja. Disitu pulalah kita sebagai manusia diuji kebijaksanaannya. Menurutku.

Ponti Indra said...

ada sumber dr BIN mensinyalir bahwa peledakan ini dilakukan oleh amerika disaat mereka (Imam Samudra, Ali Gufron & Amrozi) juga meledakkan peledak berkekuatan rendah
tp BIN tidak ada kuasa u/ mengintervensi kasus ini, sperti halnya kasus pembunuhan Munir yg mereka sinyalir adalah perbuatan amerika & Muchdi Pr adalah korban dr konspirasi tsb.

Eko Prasetyo said...

amerika oh amerika,
bin oh bin,
indonesia oh indonesia,
SEKOLAH SONO, JANGAN NONTON SINETRON TEROOOOOS!

>> manusia songong said...

terus gimana dong dengan gw luq

Luqman Hakim said...

Yup... Makasih Put.

Luqman Hakim said...

Tetap jadi diri sendiri, itu yang terbaik.
Tetap mencari kesejatian diri, lewat berbagai pencarian yang terbaik.
Tetap untuk melihat sekitar dalam konteks empati, inilah yang terbaik.
Terakhir, tetap untuk menjadi yang terbaik, meski dalam kehidupan belum tentu kitalah yang terbaik. Tapi setidaknya menjadi yang terbaik dan berguna, setidaknya untuk keluarga sampai ke lingkungan, masyarakat, juga kehidupan bernegara.
Kalau semua orang sampai pada konteks ini, yakinlah kita nggak akan punya pemimpin yang cuma bisa mengecewakan, tapi kita akan punya pemimpin yang selalu memilihkan yang terbaik untuk rakyatnya...

Hiks...
Maaf, saya tengah bermimpi...

Luqman Hakim said...

Mengenai konspirasi ini, saya juga mendengarnya dalam konteks yang lebih banyak, semisal dengan adanya kerusuhan di Monas, di mana ada sumber ini didalangi CIA, segala sumber lainnya juga begitu.

Tapi permasalahannya itu bukan lahan kita, itu lahan intelejen, kita hanya membahas yang terlihat dan gamblang dan bukan kasat mata. Tapi makasih banget Mas, sudah mewarnai perbendaharaan diskusi ini dengan bahan yang harus kita bahas sama-sama. Konspirasi samakah dengan pemecah-belah? Itu sama seperti teori meledaknya petasan, berguna tidaknya, mari kita liat sama-sama...

Luqman Hakim said...

Ha ha ha... Ini komentar pembangkit semangat yang perlu digaung-gaungkan sekerasnya. Thanx Mas Eko! Bener banget tuhhh...

Luqman Hakim said...

Sabar Kak Inyong...
Jangan gigitin bibir sendiri, apalagi bibir orang, terutama lawan jenis, he he he...

Ade Puspitasari said...

kalo mimpinya jadi kenyataan kan ga papa kan? ^.^ Teruslah bermimpi!

Yusuf Moch. said...

pagi mas Luq, setuju mas kita ga ngomongin Amrozi CS, karena mereka hanya jadi SUMBU BOM dari C4 yg ditanam jauh hari sebelum kejadian.

Kekuatan karakter ?? tentu perlu mas... tapi bagaimana klo kekuatan karakter itu ada karena bentukan media mas ? AA Gym contohnya, pudarnya pesona AA Gym juga karena Media.

YAng lagi in aja mas.... OBAMA, begitu karismatik, pinter banget tuh mister dan orator yang canggih. Penguatan karakter timbul karena memang diasah disekolah.
Setuju kata mas Eko,
"SEKOLAH SONO, JANGAN NONTON SINETRON TEROOOOOS! "

Ade Puspitasari said...

media dan diri memang sudah tak dapat dipisahkan. Hingga ada selentingan guyon satir, "Jika ingin dipilih, maka rangkullah media". Bukankah itu sebagai salah satu metode pembentukkan karakter juga? Bukan benar dan salah lagi, tapi kesan baik dan benar itulah yang dituju

Luqman Hakim said...

Saya justru ingin segera terbangun, takut nanti malah jadi Van Gogh...

Ade Puspitasari said...

hahahaha...kalo akhirnya jadi terkenal, ga pa pa kan? cuma psikosis koq bukan psikopat

Luqman Hakim said...

he he he...

Luqman Hakim said...

He he he... mengenai ini, mending kita buatkan tulisan khususnya aja kali Mas...

Luqman Hakim said...

Tumben kali ini "agak bener" kamu Put, he he he...

Ade Puspitasari said...

ciaaattttt...tok tok...*udah ada paku belum yg nancep di kepala mas?* hihihi. ku emang aslinya bener koq, mas hehe

Luqman Hakim said...

* diem aje deh.
Nggak mau memperkeruh suasana...

Ade Puspitasari said...

akhirnya takluk juga org yg satu ini *fueh*