Sunday, November 23, 2008

Tuhan Bukan Kata Makian


Setiap terbangun di pagi hari, selalu ada rencana yang tersusun di dalam benak diri, akan ke manakah hari ini. Melakukan sesuatu, beraktivitas dan pergi keluar rumah. Menyusuri waktu, mengisinya dengan hal-hal berguna. Berangkat ke kantor bagi karyawan, menuju kampus atau sekolah bagi pelajar, pergi ke pasar bagi ibu rumah tangga dan terus berpeluang bagi yang belum berpenghasilan tetap.


"Cinta" dari album Swami 1989, courtesy of Swami

Tapi apakah pernah terpikir, bangun di satu pagi tanpa rancangan dan susunan rencana?

Bangun dalam kondisi bingung mau berbuat apa karena memang tak ada yang bisa dikerjakan akibat keterbatasan kemampuan. Tatapan mata kosong, memandang waktu yang terus bergulir sampai di penghujung, menjalani hari tanpa ekspresi juga pikiran yang sehat, memadati sudut-sudut jalan dan ujung-ujung gang dengan ketidakmampuan diri dalam berkompetisi di kehidupan.

Sampai ada yang menghampiri, mengulurkan tangan untuk dijadikan orang yang berguna.

Diajari segala kebaikan dalam format agama.

Apapun adanya, segala kebaikan itu harus berguna bagi orang banyak, tak hanya kebaikan dalam sudut pandang sendiri, golongan, apalagi pribadi.

Namun anehnya, ketika kebathilan terpampang gamblang di muka bumi, semuanya diperangi. Dibabat habis atas nama kebenaran dan agama. Berteriak lantang menyebut-nyebut nama Tuhan lantas memukul orang, membakar tempat, bahkan membunuh jiwa-jiwa yang masih labil dan bingung dengan kehidupan di masa sekarang.

Lantas apa bedanya dengan kalimat geram yang dilontarkan saat melakukan?

Tak beda dengan perkelahian jalanan di mana sebelum memukul, sang jagoan harus mengeluarkan kalimat makian dan umpatan kotor demi melumat nyali sang lawan.

"Anjing!"

"Setan!"

"Bangsat!"

"Kont***!"
(Sensor!)

"Ngent***!"
(Sensor!)


Dan sebagainya, dan sebagainya, lantas aksi itu dilakukan. Memukul, menghantam, menganiaya, membakar tempat, juga membunuh banyak jiwa, seolah kebenaran hanya ada dalam dirinya sendiri tanpa kompromi. Kebenaran subyektif yang tidak mau memperhatikan bahwa objek penderitanya juga masih bingung menghadapi kehidupan yang serba semu, menjalani hari dan waktu dalam labil, berada di tengah-tengah kegalauan masa yang serba membingungkan antara yang baik dan yang buruk, antara yang halal dan yang haram.

Format apa pula yang membuat kita harus mengambil-alih peran Tuhan dalam bentukan penghakiman?

* * * * *

Dalam satu riwayat dikisahkan ada seorang murid dari sebuah pesantren. Satu ketika ia berubah total dari aturan pesantren. Bila di keseharian seragam pesantren adalah putih-putih sebagai simbol kesucian, ia berganti rupa memakai kostum warna hitam-hitam. Hari-hari dilewati dengan selalu menunduk, diam dan tak banyak bicara.

Sampai ada salah seorang temannya yang peduli, bertanya;

"Kamu ini ada apa? Hari-harimu diisi dengan banyak diam dan murung, ditambah lagi kenapa kamu berpakaian hitam-hitam begitu? Kamu mengerti 'kan kalau seragam pesantren kita itu putih-putih? Nanti kalau Kyai marah bagaimana? Ada apa sebenarnya? Bila ada apa-apa ceritakan ke aku saja, aku ini sahabatmu, siapa tahu aku bisa membantu..."

"Tak ada apa-apa, saya hanya sedang bersedih, saya sedang berkabung..."

"Innalillahi wa inna illaihi roji'un! Siapa yang meninggal? Siapa?"

"Yang meninggal bukan siapa-siapa, kamu pasti takkan mau tau siapa yang meninggal..."

"Eh, kita ini Muslim, sebagai Muslim kita ini bersaudara dan sudah sewajarnya juga kita sebagai sesama Muslim harus saling bantu-membantu dalam kebaikan. Siapa yang meninggal? Aku harus tahu dong!"

"Itu... Tuhanku yang meninggal..."

"Astaghfirullah al adzim! Murtad kamu!"

Si teman itu berlalu meninggalkan santri yang masih saja terdiam dan tertunduk sedih, mengadukan pada Sang Kyai perihal kemurtadan rekannya yang berbaju hitam-hitam. Muka Kyai merah padam mendengarnya dan ia langsung memanggil santrinya yang dianggap sudah menyimpang, menyidangnya, lalu menanyakan segala alasan-alasan atas kemurtadan itu.

"Saya dengar kamu mengatakan tuhan kamu sudah meninggal. Kamu tau resikonya menjadi murtad dengan perkataan itu?"

"Saya tahu Kyai, saya sadar atas apa yang sudah saya ucapkan. Saya juga siap menerima resiko atas apa yang sudah saya ucapkan itu..."

Berdasarkan hukum yang berlaku, santri berseragam hitam-hitam yang dianggap murtad itu lalu dikubur sebatas kepala dan siap untuk dihukum rajam, dihadiri oleh murid-murid lainnya di pesantren. Namun sebelum hukuman dilaksanakan, Kyai yang berusaha menyelami pikirannya, menanyakan lagi ketegasan atas perkataan itu.

"Sebelum hukuman dilaksanakan, saya ingin menanyakan alasan perkataan itu juga permintaan kamu terakhir kali. Apa maksud kamu mengatakan tuhan itu sudah mati? Apa benar menurutmu Tuhan sudah mati? Sebenarnya siapa Tuhan kamu? Apa permintaan terakhirmu sebelum hukuman ini dilaksanakan?"

"Benar Kyai. Tuhan saya sudah mati. Selama ini saya salah memilih Tuhan dan tuhan yang saya sembah itu sudah mati. Saya tak ada permintaan apa-apa. Silahkan bila Kyai ingin menghukum. Saya ikhlas, saya rela..."

Sang Kyai menggeleng-gelengkan kepala. Ada geram karena ilmu yang diajarkannya tak masuk ke otak dan hati muridnya ini. Ia berkata pada santri berbaju hitam-hitam itu sebelum hukuman dilaksanakan.

"Sekarang! Sebutkan kalimat Ilahiyah sebelum hukuman ini dijalankan untuk memudahkan kematianmu! Lancang sekali kamu mengatakan bahwa Tuhan itu sudah mati! Siapa sebenarnya Tuhan yang kamu sembah?!"

"Tuhan yang saya sembah selama ini bukan Allah SWT, tuhan yang saya sembah selama ini adalah iri, dengki, kebencian, kehasutan, kesombongan, dan kebenaran atas dasar subyektivitas pribadi. Tuhan-tuhan saya itu sekarang sudah mati. Silahkan bila Kyai ingin menghukum. Saya sudah siap, saya ikhlas dan saya rela... Asyhadu alla illaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah..."

Batu-batu yang dipegang oleh para guru dan murid di pesantren, yang sekiranya siap dilontarkan untuk santri yang dianggap murtad, terjatuh lunglai dari tangan mereka. Genangan air yang ada di pelupuk mata makin membuncah, tumpah membasahi pipi mereka masing-masing. Sang Kyai dengan hati tak karuan, mengangkat santri yang terkubur sebatas kepala yang dianggapnya murtad tadi, memeluknya erat, lalu menciumnya dengan penuh haru.

"Terima kasih ya Allah, sudah memberikan kami pelajaran yang sangat berharga di pagi ini..."

Sumber cerita: Kisah-kisah sufi, judul bukunya lupa, udah lama banget soalnya...

* * * * *

Susahnya hidup di dunia yang serba semu, segala sesuatu didasarkan kebenaran atas subyektifitas pribadi. Kehidupan yang kibriya, kehidupan yang tak mengenal batas antara halal dan haram menjadi sulit untuk dipilih.

Hal-hal apa pula yang membuat manusia ingin menghapus keberagaman yang ada hingga segala sesuatu itu harus dibentuk menjadi sama warna dan serupa?

Ya Tuhan, berikanlah kami selalu hal-hal yang terbaik, meski kami teramat sering menjauhi-Mu, membuang-Mu dalam kata-kata makian kami, menjadikan-Mu simbol-simbol belaka dalam kehidupan. Dekatkan hati kami dengan-Mu ya Tuhan...


Catatan: Tulisan ini diikutsertakan untuk Writing Contest Pesta Blogger 2010



Sumber lagu: "Cinta" dari album Swami 1989, courtesy of Swami

Luqman HakimSenin 24 November 2008, jam 09.00WIB
Pagi-pagi masih di rumah! Belom ke kantor!


22 comments:

Reddy Septiady said...

siraman rohani yg menyentuh kalbu kang

btw koq lum berangkat masih ujan yah :P

d . said...

ayo ka lukman, ngantor dulu :D

Marto Art said...

Man, pasti rumahmu gak perlu AC ya? Habisnya postinganmu acap bikin adem sih. Suejuk suejuk...

Ade Puspitasari said...

aamin ^.^

"berhala2" Tuhan yang masih sering kita sembah ya...

blanthik_ ayu said...

nice post luk..."lempar anduk ke lukboi..mandi..ngantor gih!"

d . said...

ada juga aliran penyembah kaelng biskuit lho hahahaha *lirik ka lukman*

Ade Puspitasari said...

OMG...masa sih???? aliran baru nih *liat mas luqman bae2*

aji prasetyo said...

Orang bicara cinta atas nama Tuhannya
Sambil menyiksa membunuh
Berdasarkan keyakinan mereka

hidup SWAMI

Taufiq Yuniarto said...

guyuran rohani.... dingin yg menyentak....

entons s said...

Makanya jangan berburuk sangka dulu.....ternyata si santri itu lebih tinggi tingkat keruhaniannya...

Film Jadul said...

Makanya Jangan Nonton Pelem Jorok Melulu, Boy...
*kabuuur*

dita ku said...

curang jam 9 pagi masih di rumah, huh!

wulandari bee said...

astagfirulloh....*banyak-banyak istighfar*
trkadang diri ini memang tidak sadar klo sudah menjadi hamba dari selain-NYA

kakatya tya said...

adem mas.....

isro ayyubi said...

Bener banget mas..

fithorfaris petirkeris said...

bagus mas....

kakatya tya said...

lebih seru denger cerita langsungnya dari mas Luqman niy....

bune shafahilman said...

hmmm,,, bagus mas..

sefano fafa said...

mantapz

emilf f said...

berkunjung, Mas! mengena banget dengan keberagaman negeri kita saat ini. Saya pun sering bertanya-tanya, apa iya sih berbuat kekerasan dan kesewenangan bisa dibenarkan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan? Salam

Winny widyawati said...

Mas kalau diikutkan ke writing contest itu hanya mengaplikasikan banner aja ? kl link kita didaftarkan kemana ?

intan suri said...

jadi berkaca2 bacanya..............
makasih sudah share.... tulisan yang bagus dan menginspirasi...
siapapun yang menang semoga salah satu dari MPERS