Friday, January 2, 2009

Kisah Seekor Elang Tua dan Anaknya


Di atas tebing curam dan terjal, seekor elang tua berkata pada anaknya,

"Nak. Lihatlah tebing tinggi di seberang sana. Bilamana dapat kau capai, hilanglah galaumu. Terbanglah melintasi hari dan waktu! Kejar mangsamu yang lari ketakutan, cengkramlah ia dengan cakarmu yang kokoh!"

Sang anak terdiam, namun sang ayah masih terus melanjutkan.

"Gebalaumu takkan sanggup menghentikan waktu. Ia akan terus berlari mengejar awan tanpa kenal lelah. Jalanmu hanya satu, tidak menjadi bangau, nuri, kutilang, apalagi gagak! Mereka ada suratannya tersendiri. Kita cukup menunggu hujan tanpa perlu mencari aliran sungai jernih di bawah sana. Tempat kita di batu karang dan gurun, bukan di atas dahan-dahan pohon rindang!"

"Tapi ayah..." ujar sang anak.

"Menjadi lemah itu bukan milikmu!" potong sang ayah. "Sayapmu takkan tumbuh dalam rengekan. Kau tetap dalam keterasingan panjang sampai sadar bahwa sarangmu ada di puncak gunung tertinggi. Tempatmu bukan di dalam sangkar indah, menunggu harap antaran saji dan membalas kebaikan dengan kicauan merdu. Suaramu adalah lengkingan alam raya, gelegar petir membelah muramnya pekat langit, bukan alunan pengusir sepi rumah-rumah hampa!"

"Tapi ayah..." ujar sang anak.

"Bukan tolakanmu yang mengantar kedewasaan! Kekuatanmu ada pada cakrawala! Pada bulir-bulir hujan yang menyuburkan benih, pada gemuruh halilintar menunggu diburu, pada penantian mangsa yang menunggu tubuhnya terbaring di haribaan bumi! Jangan menanti manjamu menggerogoti hari! Terbanglah tinggi mencari sang sejati!"

"Tapi ayah...!" ujar sang anak.

"Kupotong paruhmu bila terus merajuk! Untuk apa menumbuhkan cakar bila terus mempertanyakan siapa dirimu! Kuatlah seperti karang! Hadapi ombak dengan kokohmu, bukan dengan rewelan yang membisingkan telinga! Desing lebah masih lebih berarti ketimbang rewelanmu!"

"Tapi ayah...!!!" ujar sang anak tegas dan keras. Kali ini ia benar-benar marah. "Kapan kita berburu bila ayah terus bicara?! Aku lapar! Burung meriwis lewat tadi, menanti kutangkap malah terlepas demi mendengar khotbah ayah! Ada lagi yang perlu dibicarakan?! Teruslah berbicara sampai pagi, sampai buruan kita pergi tidur dan kita pun terlelap dengan perut lapar lagi!"

"Ya sudahlah kalau begitu…" Ujar sang ayah nelangsa. Anaknya sudah besar, ternyata...




Luqman Hakim
Sabtu, 17 Februari 2001

Tulisan goblog waktu (sok) belajar kiasan bahasa sastra, ternyata emang nggak bisa dan tetep ngaco, ha ha ha...


11 comments:

lananganing jagad * said...

boleh copas pak.......

Luqman Hakim said...

Silahkan, tapi jangan lupa mencantumkan sumber aslinya ya...

d . said...

abis diprotes sama Zahra ya ka lukmanddddd .... ekekekkek *ngabur*

Lili Sundaningsih said...

ternyata pinteran anak nya yah mas....ekekekek....

Luqman Hakim said...

Ini tulisan lama lho, jaman belom kawin malah...

Luqman Hakim said...

Halah Kak Lili, waktu nulis ini Zahra malah belom kepikiran dilahirin ngkali. Ini tulisan lama jaman belom kawin gitu...

Marto Art said...

keren neeh tulisan. harus dibaca para ortu n para pengotbah.

Luqman Hakim said...

Haiyah, lebay...

Robert AA said...

Bangun, Luk... Udah siang... Kerja Sono....

Luqman Hakim said...

Udeh di kantor tauuuu...

rengganiez sw said...

apikk tenan mas...nek iki serius leh ku moco...