Monday, January 12, 2009

[REVIEW] Perempuan Berkalung Sorban; Dunia Butuh Perempuan Pemberani!

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama

"Perempuan juga harus punya semangat revolusioner", setidaknya itu yang saya dapat setelah menonton film ini, "Perempuan Berkalung Sorban" (selanjutnya disingkat PBS). Film berdasar novel Abidah el-Khalieqy yang berjudul sama, ditranslasi ke layar lebar oleh Starvision lewat sutradara Hanung Bramantyo yang melariskan film Ayat-Ayat Cinta.

Blak-blakan saja, saya tidak begitu tertarik menonton film-film Hollywod juga Indonesia, saya lebih suka film Indie atau film yang memang ditujukan bukan untuk komersil. Biasanya film-film begitu banyak titipan atau malah adegan yang dilebih-lebihkan. Tapi demi melihat Revalina S. Temat saat dijilbabi jadi malah tambah cantik, saya tertarik untuk menontonnya. Toh gratis, apalagi di hari pertama yang memang untuk kalangan terbatas juga untuk para jurnalis dan pekerja media.



Buat saya PBS ini bukan film religi, meski memang mengangkat kehidupan Pondok Pesantren Al Huda di daerah Jombang, Jawa Timur, lengkap dengan prosesi kehidupan para kyai, ulama dan santri-santrinya.

Dikisahkan seorang perempuan kritis, Annisa (Revalina S. Temat), banyak bertanya tentang keberadaan perempuan dalam peranannya di dunia sekarang. Hidup di dunia yang sudah modern di format cerita setting tahun 1997, berkilas-balik ke kehidupan tahun 1985 saat kecilnya yang juga sudah kritis, mengalami banyak pergulatan pemikiran atas dominasi perempuan dalam kacamata Islam.

Annisa bukan Kartini yang membingungkan, Annisa juga bukan Che Guevara tokoh revolusioner legendaris, Annisa tetaplah Annisa yang digambarkan oleh Abidah sang penulis cerita sebagai sosok perempuan yang galau dengan peran pesantren menyikapi perempuan dalam sudut pandang keilmuan. Larangan banyak bertanya, sikap nurut dan manut perempuan dalam kultur pondok pesantren membuat tokoh cerita ini jadi terseok-seok menghadapi kehidupan. Semua yang direncanakan berjalan tidak mulus sesuai rencana.

Annisa yang jatuh cinta pada Chudori (Oka Antara) harus melepaskan cinta itu dan dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahardian), anak dari rekan ayahnya sesama Kyai. Adegan yang berlebihan, alur di awal yang hampir mirip sinetron-sinetron kebanyakan sempat membuat saya ingin muntah. Dulu saya pernah protes pada ceramah Shalat Jumat yang sempit dan tak universal. Aksi ini tentunya bikin jama'ah lain bingung, heran, aneh, bahkan kesal pada saya yang berani-beraninya mengkritik pengkhutbah Shalat Jumat. Baru setelah disadarkan oleh teman yang memang lebih mengerti, saya tinggalkan cara itu, paling kalau saya tak suka dengan ceramahnya, saya tinggal dan mencari masjid lain. Apalagi cerita di film ini, adegan di mana Annisa ditidakadilkan oleh Samsudin suaminya, Annisa yang dimadu, Annisa yang dipukul dan diperkosa oleh suaminya sendiri meski tak cabul cukup membuat saya berdiri dari bangku untuk segera meninggalkan gedung bioskop Planet Hollywood 21.

Saya tak suka alur cerita yang berlebihan, jauh dari dunia nyata meski itu jelas nyata dan ada di kehidupan. Tapi demi ingin mengambil intisari film ini, saya paksakan menonton sampai selesai. Di bagian tengah, Chudori yang pulang dari belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir dan bertemu Annisa, saya duduk tenang lagi di bangku. Chudori dengan karakter yang tenang bertemu Annisa yang tengah galau. Namun rasa ingin muntah itu datang lagi saat mereka dituduh berzina dan akan dihukum rajam. Alur yang tertebak, sama seperti Al-Masih saat membela pelacur yang akan dirajam, Nyai Muthmainah, Ibu Annisa (Widyawati) berdiri dan membela, "Siapa yang tak berdosa boleh merajam mereka!" Begitu katanya.

Alur terus bergulir dan saya pun kembali tenang lagi di bangku penonton. Adegan tentang setting Jokja dan kehidupan pondok pesantren meski saya tak pernah mondok, sempat membuat saya jadi sentimentil secara subyektif. Saat kecil saya terbiasa menjalani dua sekolah, pagi di SD Muhammadiyah dan siang sekolah di Ibtidaiyah, capek dan berat menjalani dua kehidupan begitu. Kakek saya dari ayah di Medan yang memang ulama sering menekankan prinsip-prinsip dasar Islam di keluarga. Pun kakek dari ibu yang aktivis Muhammadiyah sering mengajak saya kecil ke kantor PP Muhammadiyah di Menteng, membuat saya kecil sering terbengong-bengong melihat diskusi kakek dengan para tokoh Muhammadiyah kala itu, salah satu sahabat kakek saya adalah K.H. E.Z. Muttaqin yang namanya diabadikan jadi salah satu nama gedung di Unisba (Universitas Islam Bandung). Namun saat kedua kakek saya meninggal, saya jadi teringat fondasi dasar yang ditanamkan di keluarga. Saat menonton beberapa adegan yang memang mengkisahkan tentang pendidikan Islam, membuat saya beromantisme dengan kehidupan pendidikan Islam yang juga saya alami.

Islam itu mudah bukannya jadi bisa dipermudah. Islam itu rumit meski juga bukan untuk diperumit. Ada kesan memang di novel PBS Abidah El Khalieqy mencoba mendobrak tatanan baku kultur Jawa Islam dalam pondok pesantren memperlakukan perempuan. Abidah, beberapa situs yang saya browse banyak mengkritisi pemikiran-pemikirannya. Pun ada yang secara gamblang menjulukinya sebagai Feminis Rasis (klik ini). Tapi dari memilih judulnya saja saya sudah kagum. Arti di balik "Perempuan Berkalung Sorban" adalah perempuan yang memang menuntut kesetaraan dan egaliter. Sorban itu identik dengan laki-laki dalam khazanah kultur muslim, itulah yang diangkat oleh Abidah di novelnya.

Entah, saya belum membaca novelnya yang diterbitkan tahun 2000, belum bisa membandingkan plot film dan alur cerita novel. Tapi menontonnya saya relatif cukup menikmati, beromantisme sedikit dengan Jokja dan kehidupannya. Adegan membaca buku terlarang di masa Orde Baru, Bumi Manusia-nya Pramudya Ananta Toer sampai dibakar oleh para Kyai, saya punya romantismenya tersendiri. Saya membaca buku terlarang itu di Jokja juga buku-buku terlarang lainnya, dapat dari Shopping, salah satu daerah di belakang Benteng Vredeburg yang memang pusatnya banyak buku. Entah apa yang dilarang saya juga bingung, isinya bagus begitu kok dilarang pemerintah. Saya juga teringat salah satu aktivis di UGM yang kala itu mem-fotocopy buku Das Kapital-nya Karl Marx dan membuat kajian diskusi di Gelanggang Mahasiswa UGM. Diskusi belum selesai, meski cuma buku filsafat ekonomi, demi mendengar kata sensitif 'Karl Marx', semua peserta diskusi ditangkap dan dipertanyakan ideologi Pancasilanya. Si pem-fotocopy dan juga fasilitator diskusi ditangkap dan dipenjara 10 tahun. Sungguh masa-masa pembodohan bagi yang kuliah di jaman itu, pentutupan diri dari dunia luar dan takut akan segregasi ideologi.

Kelemahan detailnya mungkin pada mesin tik yang digunakan di tahun 1997. Okelah, buat yang pernah kuliah di Jokja masa-masa itu pasti tahu, meski komputer belum booming seperti sekarang tapi rental bertumbuhan bak jamur di mana-mana. Sedikit sekali yang memakai mesin tik. Khusnudzon saya mungkin tokoh cerita di sini adalah yang sedikit itu, tapi apa mungkin dengan setting LBH Yogyakarta tak ada komputer? Agak bingung juga, mungkin iya. Kalau iya, berarti kota tempat saya banyak belajar kehidupan ini terbelakang sekali dong! Tak usah juga bicara internet di tahun ini, belum ada. Tapi beberapa tahun kemudian di tahun 2000 awal, Jokja justru jadi pusatnya para hacker dan kota yang tergolong paling melek IT dan hebat dibanding kota-kota lain.

Saya relatif menikmatinya justru di bagian tengah dan akhir, saat di mana dengan kegigihannya Annisa menunjukkan diri bahwa perempuan juga bisa sama cerdas seperti laki-laki, namun ketergantungan pada laki-laki (yang baik tentunya) juga ada. Annisa yang begitu mencintai Chudori, sempat goyah saat suami keduanya yang tercinta meninggal tertabrak mobil. Sama persis seperti pandangan perempuan yang ditulis di buku 'Cinderella Complex', diangkat oleh Colette Dowling, dengan hal 'women's fear of independence', bahwa kodrat manusia, laki-laki dan perempuan memang saling mencintai, bahwa wanita juga punya ketakutan akan kemandirian.

Menonton film ini sesudahnya bisa juga ada sisi menyesal saya ke istri, di mana ketika baru menikah, istri saya yang (sepertinya) golongan Akhwat Fillah atau kalau Hassan Al Banna juga mendirikan Akhwatul Muslimat selain Ikhwanul Muslimin, istri saya yang (sepertinya) dari golongan itu jadi berubah 180 derajat. Saya yang tak berasal dari kalangan itu, saat itu yang gondrong, jeans dekil dan baju baju gambar tengkorak pernah dipandang tak enak oleh golongan ikhwan rekan istri saya. Awalnya masih bisa cuek lama-lama tak sabar, saya debati, saya pengen tau pola pemikirannya tentang Islam. Bila dulu saat baru menikah, istri saya pernah bilang kalau tak bisa memuaskan sebagai istri, saya sebagai suami boleh menikahi lagi. Saya kaget dan tak terbiasa dengan pola pemikiran yang melenceng dari egaliter, pun tak ada di keluarga saya yang poligami. Saya mengajaknya mencari dalil-dalil tentang perempuan di Islam, menunjukkannya bahwa perempuan itu memang punya hak dan kewajiban yang berbeda dengan laki-laki namun memiliki derajat yang tak kalah tinggi bahkan bisa lebih tinggi dari kaum Adam. Dalil yang menegaskan perempuan di bawah kendali suami itu kebanyakan dhaif dan dipertanyakan mutawatir juga sanad-nya. Kini istri saya kelewat mandiri dan sering mendebati, awalnya saya senang tapi lama-lama kewalahan. Ternyata saya masih egois, masih chauvinist bahwa laki-laki segalanya, he he he... Memang sudah seharusnya semua laki-laki membuang paham man chauvinism itu jauh-jauh bila ingin ada kesetaraan.

Itulah yang saya dapat dari film ini. Perempuan sebagai sosok revolusioner yang diwakili oleh Annisa. Seperti kata Subhan teman saya yang kita diskusi sedikit selesai menontonnya, film ini masuk kategori BO (Bimbingan Oelama), bilamana menontonnya dalam konteks yang sempit, kita akan menganggap bahwa Islam itu kaku, Islam itu jahat terhadap perempuan, padahal itu adalah potret kultur Jawa Islam dalam format kehidupan pondok pesantren. Jangan berharap iman akan menebal bilamana menonton film ini, bisa jadi malah sebaliknya, menuduh Islam itu tak humanis dan universal meski yang patut disalahkan adalah kulturnya, bukan agamanya. Makanya juga, "Perempuan Berkalung Sorban" ini saya katakan bukanlah film religi meski sarat kisah dengan bumbu Islam.

Mending nggak usah nonton sendirian kalo ujung-ujungnya dapat pemahaman yang tak jelas tentang Islam! Mintalah ditemani oleh Oelama, tentunya Oelama yang egaliter, Oelama yang universal dan humanis, bukan Oelama yang ada di puncak gunung dan membayangkan kehidupan dari kitab-kitab usang yang sudah menguning, tak sadar bahwa membaca Al Qur'an pun bisa dilakukan lewat HP...

69 comments:

WeeJee Poespa Ningrum said...

Thanks atas pencerahannya mas...

Agam Fatchurrochman said...

Dua film yang ingin saya tonton adalah 3 Doa 3 Cinta dan film ini. Sayang tidak sempat nonton 3 Doa.
Saya ingin melihat, yang pernah saya tulis, bahwa baju koko dan jilbab saat ini (seringkali) adalah simbol pembebekan.

Terkait dengan tulisan kang Lukman mengenai ikhwan-akhwat yang punya dunia dan logika terssendiri, juga Pancasilaisme Orba, ini merupakan manifestasi ketakutan belajar keunggulan dan kelemahan pihak (yang dibuat jadi) seberang. aktivis Ikhwanul Muslimin takut belajar atau mendengar argumen dari luar, karena dicekoki murabinya agar takut dengan ghazwul fikr, perang pemikiran. logika sama juga ditwrapkan Orba.

Makanya IM dan juga simbol-simbolbya, bagi saya adalah jamaah pembebekan.

Alhamdulillah istrinya kang Lukman sudah kuar dari kumpulan bebek itu.

rani puspo said...

Tfs

Fendi Kurniawan said...

wah .. jadi ragu mau nonton bareng istri. makasih kang !

kakatya tya said...

hehehe,,, dikawininnya sama Samsudin yak...coba klo sama syekh Puji ya... mungkin Anisa terima legowo yo mas?

selly Carter said...

Aku juga ikutan nonton premiernya.
Rela-relain dateng ke PH dalam keadaan setengah basah karena hujan deres banget, maklum, cuma naek motor bareng Mas Bee.
Bayangan aku tentang 'Perempuan Berkalung Sorban' udah hebat benget.
Tapi setelah nonton filmnya yang ternyata juga berdurasi panjanggggg.....
Maaf, sepertinya film ini keberatan judul deh.
hi..hi....

d . said...

klo pas ke 21, udah liat posternya tapi ga pernah jadi nonton. malah nonton lainnya :D

Fathiyah Madinah Akbar said...

ulasan yg lengkap dan menyentuh.
keren....

Luqman Hakim said...

Halah Puspa, kok ya pencerahan?
Ini pendapat subyektif dari orang yang nonton film ini pertama kali, bukan review jurnalistik pula. Lebih ke tulisan goblog belaka, sesuai judulnya, Blog Goblog, ha ha ha...

Luqman Hakim said...

Jama'ah Pembebekan?

Ha ha ha... Saya ketawa lho dengan analogi cerdas ini. Acungin jempol buat Mas Agam bisa nemuin kata-kata yang tepat.

Buat saya, asal tidak 'menyerang', sama mereka saya lebih banyak diam. Tapi kalo udah 'menyerang', selama yang diserang itu cara berislam, saya masih diam. Tapi kalo menyerang udah mengarah membentuk saya seperti mereka, baru saya membalas dengan berbagai argumen dan pertanyaan kelompok bebek tadi, ha ha ha... Sumpah, saya masih ketawa dengan analogi Mas Agam ini...

Luqman Hakim said...

sama-sama

Luqman Hakim said...

Review ini bukan untuk memaksa dan menghalangi orang menonton lho Mas.
Ini pendapat subyektif independen saya pribadi yang tidak terikat dengan unsur apapun, meski saya kuli di media, tapi tulisan saya ini bukan didasari pendapat media, sekali lagi lebih ke pendapat subyektif independen...

Kalo mau nonton ya nonton aja, silahkan.
Kalo nggak mau nonton ya nggak nonton aja, silahkan.

Jangan sampe terpengaruh tulisan goblog ini ya Mas Fendi...

Luqman Hakim said...

Ha ha ha... Tya gilaaaaaa...

Perlu gw ceritain nggak sentimentilmu sama Gigih, laki lo ndiri di sini? Perlu nggak?
Ternyata elo pun pengidap "Cinderella Complex" tadi, ha ha ha...

Luqman Hakim said...

Cerdas nih milih kata-katanya Sel. Film yang keberatan judul, jangan sampe malah mengarah ke sinetron ya, meski muatannya berdasar novel memang relatif bagus.

Luqman Hakim said...

Buat umum baru tanggal 15 Januari nanti Din...

Fathiyah Madinah Akbar said...

bagusnya nonton bareng isteri aja mas. biar ada bahan diskusi ttg islam.
seru kok. insyaAllah aman.

Luqman Hakim said...

Ayo Subhan... Mana review-mu? Ditunggu!

Luqman Hakim said...

Ha ha ha... Jangan mempromosikan Subhan, lebih ke pendapat jujur dan independen aja...

Agam Fatchurrochman said...

hehehe... saya pernah nulis kalau tahun 80-an jilbab dan simbol Islam itu adalah simbol kecerdasan yang akhirnya membawa kepada perlawanan terhadap Orba dan pemaksaan ideologi tunggal Pancasila.

tapi sayangnya sekarang sudah dibajak oleh, kayak FPI atua jamaah IM ini

Luqman Hakim said...

Untuk itulah dibutuhkan para revolusioner yang jauh dari tendensi apalagi komersil. Saya nggak bisa setuju juga kalo simbol itu sekarang diboyong sama beberapa golongan yang Mas Agam sebut tadi. Seperti jilbab contohnya, itu bukan simbol, tapi bisa jadi lebih ke syar'i, memang keharusan yang termaktub meski nggak semua orang memahami.

Misalnya begini, ada temen yang kecewa sama seseorang yang berjilbab, melihat dari kacamata global, dia bilang bahwa buat apa berjilbab kalo kelakuannya melenceng, jauh dari agama. Buat apa berjilbab kalo pacaran kelewat batas. Buat apa berjilbab kalo ternyata kelakuannya nggak islami?

Saya jawab simple aja, bukan jilbabnya yang salah, orangnya yang salah. Sama aja kayak sholat tapi kok ya masih suka jahat, masih aja nyimpang, lah apa sholatnya yang salah? Apa kalo begitu mending nggak usah sholat aja? Lah, itu sama aja menutup diri dari kebaikan dong, melarang orang pada Amar Ma'ruf. Biarin aja ngaco, biarin aja begitu, pelan-pelan ntar juga berubah.

Tapi memang kita butuh orang-orang kayak FPI, kayak IM itu. Ketimbang saya yang menyikapinya kelewat egaliter dan menganggap semua sama. Yang penting justru prosesnya, bukan hasilnya. Buah yang matang dikarbit itu rasanya nggak enak ketimbang matang pohon. Begitu sih pendapatku Mas Agam...

Khilafiyah, pada intinya indah bila disikapi dalam sisi kekayaan khazanah berpikir. Bila disikapi dari sisi ideologi dan pemaksaan pendapat, ya ujung-ujungnya memang senjata yang harus diangkat...

kakatya tya said...

aduh...don't be mas... TST lha...
hihihihihi (sigh)

Luqman Hakim said...

He he he... Nggak lah Tya. Tetep kok perasaan saling membutuhkan laki-laki dan perempuan, dalam hal ini suami dan istri itu syah dan afdhol. Gpp kok. Wajar, manusiawi...

Ade Puspitasari said...

mm...puanjang euy *baca dulu ya mas*

Luqman Hakim said...

Baca aja dulu... Toh tentang 'kaum'-mu, perempuan...

Ade Puspitasari said...

yup..udah beres. Mm, menarik..kayanya ku ga usah nonton filmnya deh. baca reviewnya aja dari mas luqman dan baca di koran.

Ndak nyangka ternyata kaya gitu ya...maksudnya itu mengangkat kultur Islam tradisional. Nah, kalo itu diangkat di layar lebar artinya segmen yg liat dan interpretasinya jadi beragam. Mm..menantang tuh..bisa seruuuu debat berdebat

Ade Puspitasari said...

kira2 ada pesan/kesimpulan ga di akhir filmnya ato penonton dibiarkan dengan interpretasi dan nyimpulin ndiri ttg apa arti film itu?

Ade Puspitasari said...

oh gitu ya??? wah tu artinya jgn masuk mana-mana alias netral aja gitu ya? jadi ndak terkotak2 ? :)

Luqman Hakim said...

Musti di tengahi. Sepertinya ada bentuk 'menyerang' dan 'diserang', dua-duanya mesti dihindari meski halus wujudnya. Bisa jadi Mas Agam punya pengalaman psikologis terhadap golongan Ikhwan dan Akhwat itu tadi, apalagi saya. Entah Puput dalam hal ini di sisi yang mana, saya lebih berharap keduanya ada di sisi egaliter dan universal.

Bila saja disadari sama-sama, seperti juga saya yang pernah bilang ke Puput, dalam hidup apalagi berkomunitas cuma ada 2 perkara, mempengaruhi atau dipengaruhi. Sering dalam sebuah komunitas kita mendapat pengalaman indoktriner yang tak mengenakkan. Bilamana jadi orang yang skeptis akan mempertanyakan, bilamana punya kekuatan akan membentuk aksi revolusioner, bilamana tak punya daya upaya apa-apa, baiknya memang tinggalkan saja, tak perlu berkomunitas lagi meski hubungan baik tetap harus dijaga.

Saya mengulang lagi komentar sebelumnya bahwa, "Khilafiyah itu indah bila disikapi dalam sisi kekayaan khazanah berpikir. Namun bila disikapi dari sisi ideologi dan pemaksaan pendapat, ujung-ujungnya memang senjata yang harus diangkat..."

Maju terus intelektualitas!

Luqman Hakim said...

Haiyah... Ini lagi salah persepsi. Review-ku ini lebih ke subyektif pribadi, sentimentil pula, sisi romantisme masa lalu yang kuangkat dan kebetulannya ada di film ini.

Kalo mau nonton ya nonton aja, silahkan.
Kalo nggak mau nonton ya nggak nonton aja, silahkan.

Jangan sampe terpengaruh tulisan goblog ini ya Put...

Luqman Hakim said...

Kesimpulannya bukan hak aku. Interpretasi ya terserah setelah nontonnya. Lagipula aku udah lama nggak nulis di media, cuma di blog, jadinya cuma review subyektif dan kata "REVOLUSIONER" itu yang aku angkat, juga judul "Dunia Butuh Perempuan Pemberani", bukan cuma jadi mesin seks dan mesin beranak belaka...

Maaf kalimat terakhir tadi nusuk dan seperti menyerang, tapi itu kenyataan Put. Ada beberapa temenku perempuan yang saat usia 20-an awal punya idealisme yang tinggi terhadap kemandirian dan kebebasan berpikir, berkehendak dan berekspresi (dalam kaedah norma tentunya), tapi pas ketemu laki-laki, menikah, kemudian berketurunan, hilang semua. Ada pula yang jadi mesin seks dan mesin beranak suaminya. Itu gamblang diceritain ke aku lho Put, cerita sambil menangis begitu.

Mumpung kamu masih sendiri dan masih idealis nih, taroh batu pijakan yang kuat, baca tuh buku Cinderella Complex, women's fear of independence, buku psikologi karangan Colette Dowling...

Laki-laki itu jahat lho, makanya aku nggak pernah suka sama laki-laki...

Ade Puspitasari said...

wuaduh..maaf2 kalo kata2ku diartikan sebagai bentuk penyerangan atau defence..ndak kok, mas luqman dan mas agam ^.^ *kata2ku kurang smooth ya >.<"*

Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang pernyataan Mas Agam itu :) kalo berkenan mungkin bisa diterangkan tapi kalo ndak juga ya ndak apa2 koq :)

*salam perdamaian ya*

Ade Puspitasari said...

hehehehe...ndak koq lagian dari awal sejak aku tahu ada film itu di papan baligho di pinggir jalan, lihat judulnya, dan posternya, aku emang ga minat nontonnya, mas. hehehehe....

Ku pengen nonton Under the tree mas garin :)

Terpengaruh? Ndak koq, tadi tuh ku baru aja baca reviewnya koran Republika soal film ini. Ya..tidak berbeda jauh koq dengan reviewnya mas luqman. Tapi buatku Mas Hanung memang ngambil langkah yg cukup berani dengan bikin film ini. Salut aja

Ade Puspitasari said...

hahahahahaha..untunglah, mas

Ade Puspitasari said...

hehehe..sama aja, mas. Yup, pengalaman indoktriner yang tidak mengenakkan akan menyebabkan kita akan menyikapinya dengan sikap yang beragam.

Aku sepakat dengan pernyataan mas agar menyikapi perbedaan dari sisi kekayaan khazanah. Aku dukung kemajuan intelektualitas deh :)

Marto Art said...

Ikutan ah, kayaknya seru neeh.

Bung Agam, saya jadi ingat waktu melawan pelarangan jilbab di SMA dulu (kita lebih 'Progresife' dari prancis ya?). Juga ingat melawan Pancasila sbg asas tunggal.

Sekarang upaya pemaksaan jilbab di beberapa perda saya lawa. juga penetrasi paham lain yang gak sejalan dengan Pancasila saya lawan.

Plin-plan? gak dong. Pemaksaan itu sendiri yg pada dasarnya kita lawan. Pemaksaan tak pernah layak ditolerir. Mau pake islam kek, mau pake pancasila kek, tak boleh terjadi lagi.

eniwei, sepertinya ada yg lebih seru dari Perempuan Berkalung Sorban tuh Man; Lelaki Berjilbab Pink. (pasti belum pada nonton kan...?)

Ade Puspitasari said...

pemaksaannya ya :D mm, mas kata org nih ada yg berpendapat...hukum itu ada untuk memaksa. gimana neh? kok jadi kaya ngeri ya...

emang ada mas? jgn2 mas yg jadi pemeran utamanya ya? hehehe..piss

Luqman Hakim said...

Bukannya kurang smooth, aku malah ngeliat 'kamu' yang terserang 'Agam' atas penyataannya. digaris bawahi disini bahwa egalitarian itu yang diangkat di halaman ini. Selebihnya nggak ada. Universalitas dijunjung tinggi, masalah paham, keyakinan, terserah masing-masing, asal jangan saling menyerang kaedah ideologi aja. Semua asik kok, perbedaan itu indah. Mau sosialis, mau komunis, mau liberalis, mau religis, mau apa aja terserah, asal jangan saling menyerang keyakinan.

Itu sih maunya... Pada bisa nggak kira-kira? He he he...

Luqman Hakim said...

Yup... Kekayaan khazanah berpikir itu yang membuat kita jadi manusia dan menundukkan kepala, ternyata kepala kita terlalu besar untuk menampung semua ilmu itu sampai harus ditundukkan serendah-rendahnya... (maklum berat! he he he)

Marto Art said...

Setahuku sih dia sekadar mengikat. Baru ketika jadi Hukuman, dia berubah bernilai memaksa.

Luqman Hakim said...

Haiyah... Sama!
Tapi kenapa bioskop-bioskop rame serbuan film-film komersil ya? Wajar sih, industri...

ahmad TQ said...

uhmp.... taon segitu saya masih pake mesin ketik tuh kalo ngerjain laporan praktikum di UGM... pake kertas burem lagi... bahkan bolak balik ngetiknya :p

wah lebih dari sekedar review film neh yang didapat. Meski ada banyak hal yang bisa diperdebatkan dari pemikiran mas luqman, its a nice article :)

Luqman Hakim said...

He he he...

Ade Puspitasari said...

"terserang"??? ga ngerasa tuuhhh..hehehehe.

Bisa? ya harus bisa dunk :)

Ade Puspitasari said...

eh tapi film mas Garin masuk bioskop ga ya? *perasaan masuk tapi ndak tau..jgn2 cuma perasaan doank*

kalo ada dvdnya ku bela2in beli dah...tapi yg asli

*inget vdc Daun di atas Bantal mas Garin yg ilang sama temen hiks. Susah nyarinya lagi euy*

Marto Art said...

Coba cari di bawah bantal Put.

Ade Puspitasari said...

wakakakakakakak...di bantalku udah, mas...ntah di bantal yg punya org laen..belum diubek ke tiap rumah seh hehe

Ade Puspitasari said...

mm..gitu ya. yap, bener juga ya...mengikat terus nilainya bisa berubah menjadi memaksa kalo dah hukuman.

Luqman Hakim said...

Ha ha ha... yo wis... No offense kok, ha ha ha...

Luqman Hakim said...

Ha ha ha... Aku tau pasti pola pikirmu Mas. Ngerrtttttttiiiiiiii.... banget. Ha ha ha...

Luqman Hakim said...

Ha ha ha... Yang belom ngerti Mas Marto emang akan nanya begini... Ha ha ha...

Luqman Hakim said...

Lah, bukan sekedar mengikat, tapi memang mengikat. Buat jalan pada relnya... Haiyah! Manusia apa kereta tuh, ha ha ha...

Luqman Hakim said...

Mmm.. gimana maksute Put? He he he...

Ade Puspitasari said...

emang maksudne mas marto apaan? *langsung binun*

Ade Puspitasari said...

ndak tau...binun tra la la, mas he he

Luqman Hakim said...

Garin itu rumahnya di Depok deket rumahku, deket banget, satu RT malah. Cuma goblognya nggak saling kenal, soalnya emang nggak pernah ketemu, nggak pernah kumpul...

Tolol kan, kehidupan urban? Ya begitu itu Put...

Luqman Hakim said...

Lah, die binun ndiri...

Luqman Hakim said...

Tanyakeun langsung atuh...

Luqman Hakim said...

Thx Mas...

Ari Condro said...

perempuan berkalung sorban bisa diartikan perempuan yang hidupnya dikungkungi/didominasi oleh laki laki.

makanya di akhir kisah, ketika naik kuda bersama anaknya, sorban simbol laki laki itu dibuang.

kendati khudori sudah mati, tapi nisa siap menjalani hidupnya.

selain itu khudori juga difilmkan rajin membantu pekerjaan istrinya di rumah. gantiin mbalik tempe biar nggak gosong dan cuci piring. istri yang lagi sibuk belajar dan ngetik tugas dia bikinkan minuman hangat. so sweet ceunah !

btw, tentang mesin ketik. setahu saya di tahun 92 memang anak iain masih banyak yang pakai mesin ketik. wong di itb saja tahun 97 anak elektro diwajibkan mengumpulkan tugas memakai mesin tik. (biar kagak copy paste hehehe)

Luqman Hakim said...

Waw, bener banget dan dalem, salut sama Abidah dalam pemilihan judul novelnya yang hebat...

aji prasetyo said...

sebagai orang yang selama ini hidup di jawa timur, aku justru melihat islam tradisional disekitarku tidak kaku, terutama kalangan nadliyin. lihat saja mulai dari Gus Miek, Kyai Hamid, Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun, dsb adalah produk islam tradisional (kebanyakan dari jombang) yang jauh dari kesan kaku dan sadis dalam menerapkan dalil agama di kehidupan keseharian. para penganut nadliyin konon adalah jemaah yang lebih mampu menerima perubahan jaman karena terbiasa dengan para kyainya yang "dawuhnya" fleksibel menyesuaikan kondisi yang ada.
so, kayaknya kurang tepat si penulis cerita jika menempatkan seting cerita itu di jombang. kurang mewakili identitas generalnya, gitu loh. sehingga tebakanku adalah, dia nggak pake riset serius di lokasi yang mau dia kambing hitamkan.

jadi sebaiknya kita menyimak lebih jeli lagi mengenai konteks islam tradisional di sini. karena kultur jawa sendiri justru memprioritaskan keselarasan, sehingga yang dimaksud orang2 islam tradisional jawa dalam pesantren2 pelosok justru tampil luwes dan sederhana, tidak nampak sebagai islam fundamentalis yang kaku tanpa toleransi.(catatan; pesantrennya amrozi nggak masuk daftar)
seorang kawan pernah berceletuk, penganut "islam jawa" jarang bikin masalah. yang sering mah penganut "islam arab"
nah, tolong ditanggapi dengan cermat bahasa seenaknya temanku ini. asal kita nggak menterjemahkan secara tekstual, pasti paham maksud dia termasuk pihak mana saja yang dia sebut sebagai "islam rasa arab" itu

dan sialnya lagi, fakta yang terjadi selama ini membenarkan teorinya.

aji prasetyo said...

mas alvin sudah?

Luqman Hakim said...

Waw... Menarik nih. Kayaknya bener, Mas Aji itu masup daptar orang yang harus saya temui.

Bisa jadi ini efek samping dari bukunya Abidah sang penulis yang memang sama beberapa orang dianggap sebagai feminis pemberontak. Ini gejolak yang tak terkabarkan, geliat yang ada beberapa tempat yang tertutupi.

Mas Aji ngeliatnya menyudutkan, pengkambinghitaman satu lokasi di Jombang. Kontroversinya banyak Mas.Tapi percaya apa nggak, dengan adanya kontroversi itu orang malah penasaran, pengen baca bukunya dan pengen nonton filmnya. Ini justru yang dimaui dari dunia industri.

Saya sih nggak mau ikut-ikutan nambahin kontroversi, masup daftar orang-orang yang mengkritisi film ini, pun salah satu Partai Islam aja menganjurkan untuk mengkoreksi ulang. Halah... sampe segitunya. Buat saya itu pemasungan dunia kreativitas, nggak beda di jaman Orde Baru di mana ketika seniman bikin karya harus dikoreksi dulu lewat kepolisian.

Kreativitas tetaplah harus jadi kreativitas, itu ungkapan jujur seniman terhadap apa-apa yang dibuatnya. Permasalahannya ketika karya itu dibawa ke dunia industri, para pelaku dunia industri akan melakukan berbagai cara biar karya si seniman yang diangkatnya ke industri itu bisa laku. Pola yang terbaca dari dulu ya tetap begitu. Macam penyanyi yang kurang ngetop, trus berulah di infotainmen, orang-orang jadi menengok, lantas penasaran, pengen tau kayak apa sih lagu yang dinyanyiin sama orang yang diberitain infotainmen itu, lantas efek baliknya, orang-orang jadi tau karya si penyanyi itu. Halah... Ini trik usang!

Tapi mengenai film PBS ini sendiri saya cukup menikmati dan tak merasa tersindir. Bisa jadi karna saya bukan berasal dari kalangan pesantren apalagi kultur Islam Jawa, khususnya dalam hal ini Jombang yang ditembak langsung sama si Abidah, tapi ada beberapa hal yang sering terlewatkan ketika proses belajar-mengajar terjadi. Guru jadi 'Tuhan' itu sering kejadian, trus tergantung kadarnya juga akhirnya orang mencoba memaklumi, mengapologi. Abidah memotretnya dalam kacamata yang udah berlaku bertahun-tahun, berabad-abad, bahwa terkadang Islam memojokkan perempuan, meski yang ada itu bukan agamanya, tapi kulturnya. Sayang si Abidah langsung menembak blak-blakan nama tempatnya, Jombang, Jawa Timur, meski nama pesantren Al Huda-nya itu rekaan, tapi tetep ada beberapa orang yang tersentil dengan karya PBS ini.

Asiknya ketika disikapi dengan perbedaan pendapat dalam konteks ukhuwah, bahwa perbedaan pendapat itu anugrah, wah, indah banget dunia. Sekaligus ini juga cerminan koreksi diri di rumah, bagaimana kita memperlakukan istri, bagaimana kita memperlakukan anak perempuan kita. Apakah kita membeda-bedakannya dengan laki-laki, dlsbg.

Tapi diskusi ini memang menarik dan independen, jauh dari unsur saya dapet bantuan dana dari Hanung buat mensukseskan filmnya ato Mas Aji yang mengkritisi untuk menjatuhkannya, ha ha ha... nggak ada di sini. Diskusi yang menarik dan indah, bahwa perbedaan pendapat itu anugrah...

Luqman Hakim said...

Udeh pake jilbab? Ha ha ha...

aji prasetyo said...

weeiii sepakat banget aku. sebuah karya seni mewakili sebuah opini. kita boleh setuju boleh tidak. tapi melarang adalah pelanggaran kemerdekaan. jika sebuah karya seni muncul dengan bebas(serta bertanggung jawab) dan publik pun diberi kebebasan mengapresiasi, seleksi akan terjadi secara alamiah. yang kualitasnya kedodoran biarpun banting harga dan gembar-gembor juga males orang mau menikmati. kalaupun ada kan ngikutin level intelektualnya.

pelarangan atas sebuah proses kreatif tidak perlu terjadi, apalagi jika publik sudah dewasa dalam berpikir dan bisa menentukan sendiri selera ideal bagi mereka.
nggak perlu sampe minta fatwa MUI lah

Luqman Hakim said...

Waw... Bener banget. Sampe sekarang saya kepikiran sama para pengambil kebijakan itu menentukan boleh dan tidak bolehnya sesuatu, dasarnya dikontekskan pada anak kecil yang nggak boleh begini-begitu, harusnya begini-begitu...

arifnur - arip said...

em.. saya juga merasa Film ini mewakili "sesuatu" yang pengen saya katakan tentang Islam, tentang Perempuan, tentang Kebebasan...... Saya kok masih bingung memahami mereka yang menganggap Film ini Film Bermasalah dengan Islam :).

Luqman Hakim said...

Lepas dari pro-kontra, sebenernya memang masyarakat Indonesia itu masih 'perlu dituntun' dalam memahami sesuatu, bukan dengan kecerdasannya. Yang menuntunnya itu nggak lain nggak bukan adalah beberapa kelompok-kelompok yang mempolemikkannya.

Permasalahannya, kedewasaan berpikir itu yang patut dipertanyakan. Apa memang kita belom pada dewasa jadi cara berpikirpun harus dituntun? Trus peran guru-guru waktu kecil dikemanain dong, karena mereka yang paling bertanggungjawab dalam hal pembentukan kematangan berpikir ini...

Duh, kok ya jadi sedih, makin banyak aja agenda Indonesia dalam menyikapi banyak hal, padahal dikit lagi mau pemilu lho...

Irish Ujan said...

mas mau tanya, kalo buku dinderella complex itu bisa dida[etin di tokobuku apa yah?makasih...